Loading...
SAINS
Penulis: Saut Martua Amperamen 13:16 WIB | Jumat, 07 April 2017

Menag Resmikan Perguruan Tinggi Katolik Negeri Pertama

Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin meresmikan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri di Pontianak, Kamis 6 April 2017. (Severianus Endi)

PONTIANAK, SATUHARAPAN.COM - Sebuah perguruan tinggi Katolik berstatus negeri pertama di Indonesia muncul di provinsi Kalimantan Barat. Letaknya di Jl. Parit Haji Muksin, Kabupaten Kubu Raya. Perguruan tinggi ini bernama Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak.

Awalnya, perguruan tinggi ini bernama Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Santo Agustinus, beralamat di Jl Adi Sucipto, Kubu Raya. Andreas Muhrotien yang menjabat Ketua STP Santo Agustinus, mengatakan, kemunculan kampus ini sebagai usaha untuk memenuhi kekurangan guru agama Katolik di provinsi itu.

“Setelah melalui penantian panjang dan perjuangan yang berliku, akhirnya hari ini STAKat Negeri Pontianak diresmikan. Saat ini memang belum ada dosen yang berstatus PNS. Baru ada dosen tetap non NPS, dan ada delapan doktor sebagai tenaga pengajar,” kata Andreas, Kamis (6/4/17) saat acara peresmian STAKatN Pontianak oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin.

STP Santo Agustinus mulai beroperasi pada 2006. Kemudian, tutur Andreas, menjejak usia kampus ke-4 tahun sempat dilalukan penjajagan proses penegerian. Kelanjutannya baru bisa dilakukan kembali pada akhir 2011.

“Melewati proses tiga hingga empat tahun, perjuangan ini akhirnya berhasil. Tentu berkat dukungan uskup, pastor, bruder, suster, dan umat sekalian. Disamping memang ada dukungan berupa rekomendari dari berbagai organisasi kemasyarakatan Katolik,” ujar Andreas.

1.250 lulusan

Dalam 10 tahun ini, kampus itu sudah meluluskan 1.250 orang sarjana Strata Satu, 31 orang sarjana Strata Dua, dan 703 orang peserta program penyetaraan Strata Satu.

Uskup Agung Pontianak Monsinyur Agustinus Agus, berharap, tamatan STAKatN tidak semata-mata terfokus hanya untuk menajadi guru agama Katolik. Lebih jauh, Uskup Agung meminta para tamatan kampus ini menempatkan diri dalam peran sebagai pembina iman bagi para anak didiknya.

“Kondisi kita, terutama di daerah pedalaman, jangankan guru agama, guru mata pelajaran umum pun masih kurang. Saya harap pemerintah bisa menambah kuota guru agama Katolik, karena aspek pembinaan iman juga sangat penting,” kata Uskup Agustinus.

Kesempatan itu juga dimanfaatkan Uskup Agustinus untuk “curhat” kepada Pak Menteri, terutama terkait minimnya tenaga guru agama Katolik di sekolah-sekolah pemerintah.

Uskup secara detail memaparkan kondisi kurangnya guru agama Katolik, berdasarkan data yang diperolehnya dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat. Data itu menyebutkan, dari 1.222 SMP Negeri di seluruh Kalimantan Barat, hanya 355 sekolah yang memiliki guru agama Katolik.

Kemudian dari 4.341 SD Negeri, hanya 1.603 sekolah yang memiliki guru agama Katolik. Dan dari 378 SMA Negeri, hanya 89 sekolah yang memiliki guru agama Katolik.

“Aku mau curhat nih, Pak Menteri. Mohon untuk penentuan kuota guru agama Katolik, pertimbangkan juga kondisi lokal, tidak bisa disamaratakan dengan kondisi daerah lain di Indonesia,” ucapnya.

Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, mengapresiasi langkah Menteri Agama RI Lukman Hakim, yang tidak ragu-ragu mendukung penegerian kampus itu. Menurut Cornelis, aspek keagamaan menjadi penting diperhatikan untuk menghindarkan generasi muda masuk dalam kelompok radikal yang mengancam kebersamaan.

“Luar biasa keberanian Pak Menteri yang sangat mendukung penegerian kampus ini. Katolik sebagai minoritas merasa sangat terbantu,” ujar Cornelis.

Menteri Lukman mengatakan, masalah kekurangan guru agama Katolik di Kalimantan Barat segera akan dijadikan agenda rapat di kantornya pekan depan. Dia juga mengakui, proses penegerian lembaga ini cukup memakan waktu, tidak saja karena alur birokrasi tetapi juga permasalahan di tingkat lokal yang ikut memengaruhi.

“Saya sempat merasa bersalah, karena sebelumnya agama-agama lain di negara kita sudah memiliki perguruan tinggi negeri, hanya Katolik yang belum. Hal ini sempat mengusik pikiran saya,” ujar Lukman.

Ia mengakui, sempat pula mempelajari permasalahan apa yang menyebabkan belum adanya perguruan tinggi yang telah berstatus negeri bersama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik di kementerian yang dipimpinnya.

“Saya temukan memang ada beberapa masalah yang tidak sederhana, tetapi coba diselesaikan. Intinya, negara harus hadir memfasilitasi kebutuhan rakyat, di antaranya terkait pendidikan,” kata Lukman.

Ia berharap, semoga STAKatN Pontianak tidak menjadi satu-satunya. Tetapi segera diikuti oleh pendirian lembaga serupa di daerah lain. Sebab, pendidikan keagamaan dipandang penting untuk menopang semangat kesatuan di tengah bangsa yang majemuk.

“Sebab, ada pihak yang lalai dan khilaf, menjadikan agama sebagai alat pemecah belah. Harusnya agama justru menjadi faktor perekat,” kata Lukman. (sesawi.net)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home