Loading...
ANALISIS
Penulis: Mohammad Ismet 16:31 WIB | Senin, 02 Maret 2015

Mengapa Harga Beras Melonjak pada Februari 2015?

Mohammad Ismet. (Foto: Facebook.com)

SATUHARAPAN.COM – Harga merupakan pencerminan keragaan pasar. Peranan harga sebagai indikator pasar makin menonjol manakala data produksi dan konsumsi, yang merupakan data sekunder, diragukan kebenarannya. Data produksi dan data konsumsi dapat tidak benar karena under-estimate, over-estimate, out of date, atau karena kualitasnya buruk. Suatu hal yang jamak terjadi, terutama di negara berkembang.

Sangat mungkin data produksi dan konsumsi tidak/kurang lengkap, kurang akurat, atau kurang mutakhir sebagai bahan pengambilan keputusan operasional. Karena merupakan day to day operations, keputusan operasional di bidang perberasan yang dilakukan pemerintah mutlak memerlukan data reliable.

Pasar beras Indonesia, jika tidak terjadi intervensi pasar oleh Bulog, adalah pasar yang mendekati persaingan sempurna. Semua pelaku pasar tidak dapat menentukan harga pasar (atau sebagai price takers).

Pada saat Bulog melakukan intervensi, baik di pasar produsen maupun di pasar konsumen, kalau intervensi berjalan efektif, Bulog jugalah yang menjadi penentu harga (price maker) karena  menguasai stok terbesar, sedangkan pelaku pasar lain mengikuti harga yang ditentukan Bulog (menjadi market followers).

Dalam pengendalian harga di pasar produsen, Bulog adalah buyer of the last resort, sebagai bumper agar harga jangan sampai jatuh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Target pengadaan domestik adalah harga produsen paling rendah setingkat HPP, agar petani terlindungi pendapatannya. Dengan demikian, target program pembelian jaminan harga yang layak bagi petani produsen. Sepanjang harga lebih tinggi daripada HPP, mekanisme pasarlah yang berfungsi sepenuhnya.

Di pasar konsumen, dilakukan operasi pasar (OP) untuk mengendalikan harga selama bulan-bulan paceklik  (November-Februari). Kegiatan ini dimaksudkan agar konsumen berpendapatan rendah dapat membeli beras dengan harga terjangkau. Beras yang digunakan adalah cadangan beras Pemerintah (CBP, sekitar 400.000 ton). Kegiatan ini merupakan bentuk transfer pendapatan kepada masyarakat miskin, berupa general subsidy, artinya  beras OP dijual kepada siapa saja atau ke pasaran umum. Dalam hal ini Bulog berfungsi sebagai seller of the last resort.

Di samping dua kegiatan tersebut, Pemerintah juga menyelenggarakan program Raskin. Kegiatan ini untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga miskin (RTM) dan memperkecil kesenjangan kemiskinan (poverty gap) di masing-masing RTM. Karena program ini hanya untuk keluarga miskin terdaftar, maka program ini bersifat targeted subsidy.

Dengan volume penyaluran yang rutin, tersebar, dan cukup besar, secara tidak langsung kegiatan ini juga berperan dalam memperkecil perbedaan harga antarmusim dan antardaerah sehingga berimplikasi pada penguatan stabilisasi harga antardaerah dan antarmusim.

Mengapa Harga Melonjak?

Dengan mempertimbangkan demikian besar peran Bulog,  timbul pertanyaan, mengapa harga beras melonjak tanpa terkendali, seolah-olah Pemerintah kecolongan? Apakah data produksi dan konsumsi bermasalah, atau keefektifan intervensi justru tidak efektif? 

Apakah pelaku pasar melakukan spekulasi dengan menguasai gabah dan beras yang melebihi biasanya? Apakah Bulog lalai memantau faktor-faktor penentu harga (produksi, marketed surplus, stok masyarakat, perdagangan antar tempat dan antar waktu). Mengapa masih saja  terjadi gejolak harga, seperti terjadi pada Februari ini?

Dari berbagai sumber informasi dan pengalaman penulis berkecimpung di bidang perberasan selama lebih dari 30 tahun, dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi penyebab lonjakan harga selama Februari 2015.

Pertama, kita belum mempunyai neraca beras yang realible sebagai dasar bagi perencanaan produksi, pengadaan, Raskin, OP, dan impor/ekspor.

Kedua, harga mengalami kenaikan karena panen gadu 2014 tidak menggembirakan, yang memengaruhi jumlah carry over stock untuk mengisi periode paceklik.

Ketiga, panen 2014/2015 terlambat dua minggu sehingga pada akhir Februari harga masih tinggi karena periode panen belum dimulai.

Keempat, karena panjangnya periode paceklik, stok yang dikuasai pedagang dan penggilingan terbatas, sebagaimana  terlihat pada volume pemasukan ke Pasar Cipinang yang hanya 1.000 ton/hari.

Kelima, kekosongan pasokan diperberat karena  kurangnya penyaluran beras Raskin selama periode November-Januari (berkurang sekitar 700.000 ton), yang diganti OP dan OPK sebesar 300.000 ton.

Keenam, kurangnya pasokan dan terbatasnya OP,  dampak transmisi harga dari Jawa ke daerah-daerah juga terbatas, sehingga daerah-daerah (kecuali Sulawesi Selatan) mengalami  lonjakan harga lebih besar.

Ketujuh, timbul sentimen pasar dan spekulasi oleh pedagang karena OP yang terbatas.

Kedelapan, pergantian pemerintahan menyebabkan keterlambatan dalam  pengambilan keputusan di bidang stabilisasi harga beras. Padahal dibutuhkan keputusan yang cepat dan tepat. Timbul kesan kuat, Pemerintah “tidak siap” menghadapi lonjakan harga.

Dengan pertimbangan hal-hal tersebut di atas, impor harus tetap menjadi opsi kalau situasi pasar mengharuskannya. Opsi impor ini perlu secara terbuka disampaikan ke publik untuk meredam spekulasi pasar dan menenteramkan konsumen, khususnya yang berpendapatan rendah.

Harus Ada Neraca Beras Nasional Representatif

Data produksi disusun dengan menggunakan data perkiraan luas panen (dihitung dengan eye-estimate) dan data produktivitas (dihitung berdasarkan data ubinan). Akurasi data luas panen sering kali menjadi pertanyaan.

Data konsumsi beras dikumpulkan secara periodik, antara lain melalui Susenas. Konsumsi juga dapat dihitung berdasarkan konsumsi akhir rumah tangga, konsumsi rumah tangga ekonomi, ketersediaan dengan neraca bahan makanan, serta konsumsi di dalam dan di luar rumah tangga. Masing-masing data tersebut berbeda dan masing-masing mempunyai keterbatasan sehingga perlu ditentukan data konsumsi paling baik.

Perbedaan angka produksi dan konsumsi tersebut menunjukkan pentingnya neraca beras disusun oleh lembaga independen, lepas dari berbagai kepentingan dan egosektoral. Neraca tersebut makin penting mengingat negara kita masih merupakan marginal importer/exporter, dengan pertumbuhan konsumsi yang meningkat dan produksi yang berfluktuasi. Sementara itu, sebagai sumber suplai, pasar dunia selalu bergejolak.

Penyusunan neraca beras yang akurat akan sangat membantu menyusun perencanaan karena tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan makin tidak mudah.

Mohammad Ismet, PhD, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home