Loading...
ANALISIS
Penulis: Gracia Asriningsih 00:00 WIB | Minggu, 17 April 2016

Menjadi Lansia Tanpa Keluarga

Menjadi lansia tanpa keluarga bukan berarti tak lagi berguna. Tetapi apakah pemerintah menyadarinya?

Satuharapan.com - Panti Wredha “Waluya Jati” ini agak berbeda. Mereka yang tinggal di sana adalah bapak ibu korban tragedi 1965. Sekitar 15 orang bapak dan ibu yang disana. Ibu-ibu itu bercerita tentang masa lalunya,  ditangkap, disiksa dan dipenjara sepuluh tahun di Plantungan sementara  bapak-bapak  diasingkan di Pulau Buru.  Ibu-ibu memasak bersama untuk dimakan bersama, sementara bapak-bapak bersih-bersih.  

Karena menyandang sebutan PKI, keluarga mereka menolak sejak dulu. Tidak hanya itu, penolakan orang-orang untuk mempekerjakan mereka bahkan untuk kerja kasar, membuat mereka berada dalam kemiskinan seumur hidup, sehingga dapat diduga mereka tidak memiliki pensiun apalagi tabungan. Mereka hanya mengandalkan sumbangan dari dermawan untuk kebutuhan sehari-hari.

Hidup sehari-hari di Panti Wredha "Waluya Jati"      Foto-foto: Adrian Mulya

Tetapi bagaimana nasib panti-panti wredha di Indonesia?  Publik atau pemerintah tidak membahas hal ini dengan serius. Jawabannya pasti bukan karena orang Indonesia sayang pada orang tua dan pasti mampu mengurus orang tuanya sehingga menganggap hal ini bukan suatu masalah.

Coba tanyakan, berapa jumlah orang tua yang harus tetap bekerja di usia rentanya hanya untuk sekedar hidup? Pada kehidupan pedesaan, ikatan sosial mungkin masih cukup erat untuk membuat mereka bertahan. Meskipun angka bunuh diri di  lansia misalnya di Gunung Kidul menunjukkan sebaliknya; 40% bunuh diri dilakukan oleh lansia.

Banyak lansia di Indonesia tidak mempunyai keturunan, atau anaknya tidak mampu menghidupi orang tuanya dengan layak, atau mampu tapi tidak peduli. Banyak pula yang meskipun sandang, pangan dan papannya cukup tapi hidup dalam kesepian dan kesendirian. Padahal selama manusia masih hidup, berapapun usianya pasti masih ingin berkasih sayang atau hidup bersosialisasi.

Mengintip data BPS, usia harapan hidup rata-rata orang Indonesia adalah sekitar 65 tahun. Perempuan rata-rata mempunyai usia lebih panjang, katanya karena perempuan lebih tahan menderita. Jadi lansia perempuan  lebih banyak dari laki-laki.

Tahun 2020, diperkirakan Indonesia akan mempunyai jumlah lansia di atas 65 tahun terbesar di Dunia, atau 40 persen penduduk. Masalahnya, siapa yang akan menanggung hidup mereka, sedangkan diskriminasi  usia masih terjadi.           

Penelitian tentang panti wredha tahun 2004 menyebutkan adanya 157 panti wredha di Indonesia, dengan kondisi penghuni kurang gizi padahal pantinya milik pemda. Jumlah ini tentunya sangat tidak berimbang dengan lansia yang membutuhkan. Apakah keadaan membaik setelah 10 tahun?  Di media sosial, panti wredha katolik di Semarang  mengumumkan membutuhkan bantuan. Jadi kondisinya masih sama saja.

Orang Indonesia masih berpikir bahwa semua orang tua akan berada dalam keluarganya masing-masing, apalagi menaruh orang tua di panti wredha dianggap membuang mereka. Padahal penduduk Indonesia  mempunyai tingkat migrasi tinggi terutama untuk bekerja. Orang-orang tua ditinggal, yang lebih mampu akan membayar pramurukti atau pembantu, bagaimana dengan yang tidak? Akhirnya mereka hidup sendirian. Sebaliknya, di panti wredha yang bagus, mereka akan terjamin kebutuhan sehari-harinya, tidak perlu memikirkan atau memasak sediri,  banyak kawan dan banyak kegiatan.

Gembira karena banyak teman sebaya

Apakah pemerintah Indonesia  akan mengurus para lansia?  Tentu bukan hal  muluk-muluk seperti Norwegia yang menyediakan bantuan gratis untuk lansia, memberi bantuan keuangan dan  menyediakan pramurukti yang berkeliling untuk merawat  yang sakit, memastikan kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi, atau sekadar datang untuk mengobrol atau membantu belanja bagi yang masih ingin berada di rumah masing-masing, dan  menyediakan panti wredha yang layak bagi tiap lansia, di mana tiap lansia Norwegia boleh masuk kapan saja.  

Apakah karena anak-anak di Norwegia lebih sayang  pada lansia yang bahkan bukan orang tuanya?  Yang jelas karena pemerintahnya membangun sistem untuk itu. Sebagaimana layaknya yang muda menyayangi yang tua, mereka tahu pajak yang mereka bayar akan dialirkan untuk membantu yang tua, dan pada gilirannya mereka akan menikmati hal yang sama.

Seluruh manusia berapapun usianya, hidupnya berharga. Tapi perhatian yang tercermin dengan  alokasi anggaran pemerintah tidak kelihatan sama sekali. Presiden terpilih  menyatakan prioritas perlindungan terhadap warga negara, terhadap manusianya. Membeli pesawat tempur sangat penting tapi menjamin kehidupan manusia lanjut usia lebih penting.  Tidak hanya kartu pintar untuk generasi muda tapi juga kartu lansia,  minimal bagi mantan pejuang, korban tragedi 65, atau mereka yang dulunya olahragawan yang mengharumkan nama bangsa, dan yang miskin tanpa keluarga.  Setidaknya di masa-masa akhir hidup mereka, mereka merasakan dirinya bermartabat.  

Bhikku Sogyal Rinphoce mengatakan mereka yang mendekati kematian membutuhkan komunikasi yang jujur agar mereka dapat mengemukakan perasaannya yang terdalam tentang kematian dalam suasana yang menyenangkan. Mereka yang menemani sebaiknya menempatkan diri  di posisi lansia, membayangkan apa yang kira-kira membuat  lansia senang dan  nyaman.

Pada akhirnya yang mereka inginkan adalah yang seperti kita semua inginkan, diterima dan dicintai, dalam semesta yang sedikit demi sedikit terlepas.

 

Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home