Loading...
RELIGI
Penulis: Melki Pangaribuan 19:32 WIB | Selasa, 10 Desember 2013

MUI Minta Kemenag Jatim Tangani Demo Pegawai KUA

Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori (kanan) saat menyerahkan buku-buku Fatwa kepada Gubernur Jatim, Pakde Karwo di Rakerda MUI Jatim. (Foto: birohumas.jatimprov.go.id)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur meminta pihak kantor wilayah Kementerian Agama Jatim untuk memanggil semua pihak yang terlibat aksi protes pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Sejatim, dan mereka diminta supaya segera mencarikan solusi terkait masalah gratifikasi penghulu.

"Kami minta Kementerian Agama, khususnya kantor wilayah provinsi mencari solusi tentang persoalan Kantor Urusan Agama perihal tuduhan gratifikasi terhadap modin (juru azan; muazin,  pegawai masjid) dan penghulu," kata Ketua MUI Jatim, KH Abdusshomad Buchori kepada wartawan, pada Selasa (10/12).

MUI meminta aga segera diselesaikan masalah aksi KUA yang tidak mau melayani di luar kantor dan jam kerja itu. "Jangan sampai berlarut-larut dan membuat resah masyarakat. Kanwil Kemenag Jatim harus memanggil semua yang terlibat," tegas KH Abdusshomad Buchori.

Patokan Harga dari Oknum

Menurut Ketua MUI Jatim itu, kasus gratifikasi yang bergulir kali ini karena adanya patokan harga dari oknum tertentu. Kepada keluarga yang memiliki hajatan pernikahan, biasanya ditentukan besaran biaya yang dikeluarkan.

"Nah, kalau di KUA kan biayanya hanya Rp. 30-35 ribuan. Tapi karena sudah dipatok harga tertentu maka ada yang tidak terima karena jumlah yang sangat besar. Ini yang harus dipecahkan masalahnya," ungkap dia.

Abdusshomad Buchori menilai, tentang pemberian dari keluarga yang memiliki hajatan, dapat dianggap shadaqah atau manusiawi. Sebab biasanya, pemberian itu sebagai pengganti transportasi perjalanan menuju rumah atau masjid sebagai tempat akad nikah.

Tidak itu saja, hal seperti itu sudah dinilai sebagai hal lumrah atau budaya. Sebab, seorang penghulu tidak akan ke rumah atau mendatangi lokasi akad nikah karena tidak sanggup dengan biaya yang dikeluarkan.

"Sehingga memang seharusnya orang menikah itu di Kantor KUA. Tapi, kultur dan ritualnya kan menikah di rumah atau masjid, kemudian hari Sabtu atau Minggu. Nah, kalau sekarang muncul tudingan gratifikasi maka penghulu akan lebih hati-hati dan imbasnya ke masyarakat sendiri," ungkap Ketua MUI Jatim itu.

Selain kultur, jika menikah di Kantor KUA, masyarakat biasanya enggan. Di samping antre atau menunggu, biasanya juga masih diliputi perasaan gengsi.

Dengan demikian, pihaknya berharap Kemenag untuk berkoordinasi dengan menyelesaikan semua penghitungan anggaran jika ingin semuanya transparan. Di antaranya untuk penghulu, modin dan sejumlah pihak yang terlibat.

Terkait persoalan ini, pihaknya mengaku sudah mendapat laporan, baik melalui sms atau pesan singkat dan telepon. Namun, lanjut dia, karena masih menunggu perkembangan maka MUI belum bisa bersikap apa-apa.

 Keputusan Tidak Menikahkan Di Luar Jam Kerja

Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, H Sudjak akan mengikuti keputusan KUA se-Jatim untuk tidak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja.

"Itu kewenangan Kepala KUA, apalagi keputusan itu sebetulnya mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi nikah dilaksanakan di Kantor KUA," ungkap Sudjak.

Namun, tradisi masyarakat yang berkembang selama ini juga diakomodasi dalam peraturan itu pada ayat 2, bahwa pernikahan dapat dilaksanakan di luar kantor atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan pegawai pencatat nikah (Kepala KUA).

"Tapi, hal itu merupakan dilematis, karena menikahkan di luar jam kantor yang sudah menjadi sebuah tradisi itu di mata hukum justru dianggap sebagai sebuah gratifikasi, jika menikahkan di luar kantor dan mendapat sangu," kata Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jatim itu. (beritajatim)

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home