Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 14:30 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

Pengusaha Keluhkan Tarif Pajak Penerangan Jalan di Cilegon

Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), P. Agung Pambudhi (kiri) dan Peneliti KPPOD, Mohamad Yudha Prawira (kanan) dalam konferensi pers "Regulasi Daerah Menghambat Upaya Peningkatan Iklim Investasi" di ruang rapat APINDO, Gedung Permata Kuningan Lantai 10, Setiabudi Kuningan, Jakarta, hari Selasa (3/5). (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Para pelaku usaha di Kota Cilegon, Provinsi Banten, Jawa Barat, mengeluhkan tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang cukup tinggi namun tidak berimplikasi terhadap fasilitas jalan.

Selain itu pengusaha juga merasa diberatkan dengan pengenaan PPJ atas sumber listrik yang dihasilkan sendiri (genset). Kedua hal itu dinilai pengusaha menghambat pertumbuhan investasi di Kota Cilegon.

Hal itu disampaikan Mohamad Yudha Prawira, Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam konferensi pers "Regulasi Daerah Menghambat Upaya Peningkatan Iklim Investasi" di ruang rapat APINDO, Gedung Permata Kuningan Lantai 10, Setiabudi Kuningan,  Jakarta, hari Selasa (3/5).

"Terdapat dua hal setidaknya yang menghambat pelaku usaha di Kota Cilegon, yakni satu, tarif PPJ yang cukup tinggi tidak berimplikasi terhadap fasilitas jalan. Dan, dua, pengenaan PPJ atas sumber listrik yang dihasilkan sendiri," katanya.

Yudha menilai besarnya tarif PPJ tidak diikuti dengan perbaikan fasilitas penerangan jalan. Menurutnya, Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Cilegon tidak menggunakan hasil penerimaan PPJ untuk meningkatkan fasilitas penerangan jalan terutama di wilayah perusahaan.

“Pada hal menurut data penerimaan PPJ, total jumlah penerimaan PPJ Kota Cilegon tahun 2014 sebesar Rp 163  miliar dan tahun 2015 sebesar Rp 199 miliar,” katanya.

Sementara berdasarkan implementasi PPJ Kota Cilegon, beban pajak yang ditanggung pelaku usaha berbeda-beda sesuai sumber listrik dan beban kapasitas pemakaian listrik.  Dia mencontohkan, PT X dapat membayar PPJ sebesar Rp 72 miliar per tahun. Sedangkan PT Y dapat membayar PPJ 720 juta per tahun.

"Namun PT X dan PT Y adalah termasuk perusahaan yang tidak mendapatkan fasilitas penerangan jalan yang baik dari Pemda. Permasalahan ini disebabkan karena PPJ sebagai earmarked (pengalokasian) tidak memiliki ketentuan mengenai besaran yang harus dialokasikan Pemda untuk penerangan jalan," katanya.

Yudha mengatakan kententuan pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah hanya mengatur "hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagaian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan."

"Hal ini bertolak belakang dengan pajak earmarked lain seperti pajak kendaraan bermotor yang menentukan besaran 10 persen untuk pemeliharan dan pembangunan jalan. Kemudian pajak rokok sebesar 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum," katanya.

Memberatkan Perusahaan  

Yudha mengaku pengenaan pajak atas listrik yang dihasilkan sendiri (gengset) sangat memberatkan perusahaan. Tarif PPJ Kota Cilegon dalam Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2011 dikenakan pajak sebesar 3 persen-5 persen, pada hal menurutnya, UU 28/2009 mengatur bahwa perusahaan yang menggunakan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dikenakan pajak paling tinggi sebesar 1,5 persen.

"Ketentuan ini dinilai sangat memberatkan pelaku usaha karena mereka harus membayar pajak atas tenaga listrik yang mereka sediakan sendiri. Bahkan dalam praktiknya di Kota Cilegon, pajak tetap dikenakan tarif meski tenaga listrik tersebut tidak digunakan," katanya.

"Adapun Pemda sebenarnya tidak keberatan jika perusahaan yang menggunakan tenaga listrik sendiri tidak dikenakan pajak. Alasannya, pajak dari sumber ini tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan PPJ," dia menambahkan.

Oleh karena itu, KPPOD merekomendasikan supaya pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan Gubernur untuk merevisi pasal 56 ayat (3) UU 28/2009 dengan menentukan besaran pengalokasian pajak penerangan jalan untuk penyediaan penerangan jalan. Selain itu merevisi juga dengan menghapus pasal 55 ayat (3) UU 28/2009 yang menentukan tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5 persen.

“Kita menganggap itu bermasalah dan mereka (pengusaha) menolak memang. Jadi harus segera direvisi dan dicabut regulasi-regulasi ini,” dia menegaskan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home