Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 02:20 WIB | Minggu, 01 September 2013

Prasyarat Kultural Dibutuhkan untuk Pengungkapan Peristiwa 65

Sejarawan Hilmar Farid. (Foto Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pembicaraan peristiwa ’65 selama ini hanya terarah kepada prasyarat politik dan prasyarat kelembagaan, sementara segi lain juga perlu dipikirkan. Segi lain yang dimaksudkan sejarawan Hilmar Farid itu adalah prasyarat kultural.

“Pembicaraan selama ini terarah kepada prasyarat politik dan prasyarat kelembagaan. Bagaimana melaksanakan pengadilan? Jaksa dan hakim seperti apa yang diperlukan? Yang saya ingat di tahun 1999, 2000, dan 2001, ada beberapa lembaga yang mengkhususkan perhatiannya untuk melatih para hakim agar mengerti apa itu kejahatan kemanusiaan dan tetap ga ngerti-ngerti. Kita terus hidup dalam aura semacam itu.” Kata Hilmar Farid dalam Tele-Konferensi “Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi ‘65” di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta pada hari Jum’at (30/8).

“Di Indonesia ini tidak ada budaya konstitusional, orang bisa diperlakukan seperti anjing. Di tengah jalan diseret tiba-tiba digebukin, tidak ada konsukuensi hukum. Kita hidup dalam situasi yang seperti itu. Kalau bicara keadilan dalam konteks yang lebih besar mau ga mau kita harus fokus pada hal ini juga. Soal-soal di bawah di masyarakat saya kira perlu diangkat di permukaan jadi kita paham di mana letak macetnya.” Lanjut Hilmar.

Menurut Hilmar Farid terjadi penyangkalan atas kebenaran peristiwa ’65 bahwa telah terjadi pembunuhan dan pembantaian.

“Dari segi naratif ada dua yang biasanya dikatakan. Pertama, pembunuhan itu terjadi. Kedua, kalau pun ada pembunuhan, ini kaitannya dengan saling bunuh. Ada semacam perang, semacam konflik pada tahun ’65 maka sering dipakai kata tragedi yang menurut saya tidak tepat. Ini bukan tragedi, ini jelas ada kejahatan yang terjadi. Bahwa PKI melakukan perlawanan bersenjata di Blitar selatan sampai tahun ’68, dan di beberapa wilayah lain ada insiden-insiden perlawanan itu ya. Tetapi bentuknya sama sekali tidak masif dalam skala yang kita namakan perang. Yang terjadi adalah pembunuhan atau lebih tepatnya pembantaian, bukan konflik antar kedua pihak.”

Selain penyangkalan, strategi lain yang digunakan adalah moral judgement. Moral judgement dibuat untuk mengesahkan pembunuhan dan pembantaian peristiwa ‘65. Pembunuhan dan pembantaian itu dibilang wajar terjadi karena PKI berada di pihak yang salah dan kalah.

Penilaian lain yang sering disebarkan adalah penilaian bersifat ideologis. Menjadi komunis berarti mati, karena komunis tidak punya tempat di bumi Pancasila. Pembunuhan dan pembantaian itu menjadi wajar dengan alasan ideologis.

Strategi lain yang digunakan untuk mengesahkan pembunuhan dan pembantaian peristiwa ’65 dengan dalih balas dendam atas yang dilakukan PKI di masa sebelumnya.

Argumentasi-argumentasi itu sengaja dibangun untuk mengatakan pembunuhan dan pembantaian itu wajar terjadi. Penyangkalan seperti ini disebut historical revisionist dan merupakan hambatan kultural.

Hambatan kultural ini menghambat pengungkapan kebenaran peristiwa ‘65. Oleh karena itu, Hilmar Farid mengajak para pejuang keadilan untuk menengok pada peristiwa di Guatemala. Diktator Efrain Rios Montt diseret ke pengadilan pada tahun 2013 ini karena di masa berkuasa didakwa atas pembunuhan indigenous people di Guatemala pada tahun ’82-’83.

Perjuangan membawa diktator ke pengadilan dilakukan beberapa lembaga yang menyatakan tindakan pembunuhan itu harus diadili. Jaksa Agung mendorong proses itu sehingga dapat berjalan di pengadilan. Presiden Guatemala sekarang Otto Pérez Molina sebelumnya anak buah Efrain Rios Montt dan untuk menyeret diktator Efrain Rios Montt ke pengadilan dalam situasi politik yang jauh dari mendukung tetapi pada akhirnya berhasil. Kampanye tekun sejak tahun ’82-’83 baru membuahkan hasil pada tahun 2013.

“Lihat selama 30 tahun kerja keras melakukan banyak hal yang menyentuh prasyarat kultural yang tadi saya sebut.”

Menurut  Hilmar Farid yang dibutuhkan prasyarat kultural bahwa pembunuhan dan pembantaian peristiwa ’65 itu sebuah kesalahan dan itu menjadikan semacam kesadaran publik.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home