Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:43 WIB | Kamis, 13 Desember 2018

Science Based Policy untuk Pembangunan Kelautan Indonesia

Ilustrasi. Ekspedisi Nusa Manggala, memetakan potensi sumber daya pesisir di pulau-pulau terdepan Indonesia di provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku Utara yang berada di kawasan Samudera Pasifik. (Foto: lipi.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Indonesia terletak di dalam Segitiga Terumbu Karang, wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang terbesar di bumi. Aset alam ini menyediakan berbagai barang dan jasa, berkontribusi terhadap kesejahteraan lebih dari 60 juta orang yang tinggal di wilayah pesisir Indonesia.

“Menyadari kesulitan dalam menangani masalah dan penggunaan sumber daya, pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia memulai sebuah program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), yang sampai saat ini telah berjalan dalam tiga fase,” kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko, pada Selasa (12/12) yang dilansir situs resmi lipi.go.id.

Tahap pertama yang berlangsung pada tahun 1998-2004, COREMAP melakukan kegiatan penguatan kelembagaan, kesadaran masyarakat, riset dan pemantauan, serta penegakan hukum dan pengelolaan berbasis masyarakat. Tahap kedua dalam kurun waktu 2004-2011, kegiatan COREMAP difokuskan pada tahapan implementasi dan percepatan, dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan.

Sementara COREMAP-Coral Triangle Initiative (COREMAP CTI), merupakan tahap ketiga yang bertujuan untuk melembagakan pendekatan yang telah dibentuk pada fase sebelumnya agar dampak kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang

Menurut Handoko, program COREMAP telah menghasilkan data dan informasi serta timbangan ilmiah yang signifikan dalam upaya restorasi dan pengelolaan ekosistem pesisir khususnya terumbu karang di Indonesia.

“Capaian penting yang telah dihasilkan di antaranya indeks kesehatan ekosistem terumbu karang dan padang lamun, monitoring kesehatan eksosistem terumbu karang dan padang lamun, penyusunan basis data ekosistem pesisir nasional, pelatihan dan sertifikasi, riset prioritas berbasis kebutuhan serta penyelenggaraan ekspedisi pulau-pulau terluar,” kata Handoko.

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dirhamsyah, mengatakan hasil kegiatan monitoring dan pengukuran terkini menunjukkan luas terumbu karang Indonesia mencapai 25.000 km2 atau sekitar 10 persen total terumbu karang dunia yaitu seluas 284.300 km2.

“Sebagai pusat segitiga karang dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku atau sekitar 70 persen lebih jenis karang dunia, dan 5 jenis di antaranya merupakan jenis yang endemik,” kata Dirhamsyah. Ia menambahkan, aktivitas manusia dan gejala alamiah sangat berpengaruh dalam kesehatan ekosistem terumbu karang ini.

Selain itu juga tengah dilakukan Ekspedisi Nusa Manggala, untuk memetakan potensi sumber daya pesisir di pulau-pulau terdepan Indonesia di provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku Utara yang berada di kawasan Samudera Pasifik yakni Pulau Yiew, Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondi, dan Liki. “Ekspedisi ini mencakup empat tema yaitu ekologi, daya dukung lingkungan, geomorfologi, dan sosial-ekonomi,” kata Dirhamsyah.

 Hasil ekspedisi menunjukkan, Pulau Yiew memiliki tutupan karang dengan kondisi sedang (26 persen) dengan 44 spesies ikan karang, 29 spesies moluska dan 12 spesies burung, 2 di antaranya adalah spesies endemik.

Sedangkan Brass-Fanildo diketahui memiliki atol yang sangat luas dengan tutupan karang yang baik (65 persen) dan beragam karang hias. Atol tersebut menjadi tempat perlindungan bagi beragam biota laut dari kondisi ekstrem Samudera Pasifik untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Himpunan data, informasi dan pengetahuan selama riset disimpan dalam Pusat Data Ekosistem Pesisir (PUSDEP) yang merangkum seluruh data, informasi dan hasil riset.

“Lewat PUSDEP data dapat dengan mudah dan cepat diakses lewat aplikasi portal internet yang mudah digunakan,” kata Dirhamsyah. Data itu, lanjutnya, akan berguna untuk berbagai kepentingan terkait pemantauan ekosistem, edukasi dan studi lanjut.

Sementara untuk mengembangkan jejaring kerja sama regional, telah didirikan Regional Training and Research Center for Marine Biodiversity and Ecosystem Health (RTRC MARBEST). Dan untuk menjamin kompetensi sumber daya manusia pemonitor terumbu karang dan ekosistem terkait, telah dibentuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

“Saat ini telah ada empat tempat uji kompetensi yang dapat digunakan untuk mensertifikasi SDM tersebut yakni Loka Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Oseanografi LIPI, Universitas Diponegoro, Universitas Maritim Raja Ali Haji, dan Universitas Sam Ratulangi,” kata Dirhamsyah.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home