Loading...
EKONOMI
Penulis: Martahan Lumban Gaol 14:53 WIB | Jumat, 01 Januari 2016

Tak Terbit Lagi di 2016, Sinar Harapan Pamit dan Minta Maaf

Tak Terbit Lagi di 2016, Sinar Harapan Pamit dan Minta Maaf
Tim Redaksi menyelesaian layout edisi terakhir Harian Sore Sinar Harapan di Redaksi Harian Sore Sinar Harapan, Jakarta, 31 Desember 2015. Harian Sore Sinar Harapan terbit perdana 27 April 1961. (Foto-foto: Antara/Wahyu Putro A)
Tak Terbit Lagi di 2016, Sinar Harapan Pamit dan Minta Maaf
Pemimpin Redaksi Harian Sore Sinar Harapan, Rikando Somba (tengah) bersama tim redaksi meluapkan emosi usai menyelesaian layout edisi terakhir Harian Sore Sinar Harapan di Redaksi Harian Sore Sinar Harapan, Jakarta, 31 Desember 2015. Harian Sore Sinar Harapan berkali-kali dibredel oleh penguasa karena pemberitaannya.
Tak Terbit Lagi di 2016, Sinar Harapan Pamit dan Minta Maaf
Tim Redaksi menyelesaian layout edisi terakhir Harian Sore Sinar Harapan di Redaksi Harian Sore Sinar Harapan, Jakarta, 31 Desember 2015. Harian Sore Sinar Harapan terbit perdana 27 April 1961.
Tak Terbit Lagi di 2016, Sinar Harapan Pamit dan Minta Maaf
Tim Redaksi menyelesaian layout edisi terakhir Harian Sore Sinar Harapan di Redaksi Harian Sore Sinar Harapan, Jakarta, 31 Desember 2015. Harian Sore Sinar Harapan terbit perdana 27 April 1961.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Harian sore Sinar Harapan telah menerbitkan edisi terakhirnya. Sinar Harapan berhenti terbit dalam bentuk cetak ataupun online mulai hari Jumat (1/1). Artikel perpisahan pun sudah ditulis oleh Pemimpin Umum Redaksi Sinar Harapan, Daud Sinjal, kemudian dimuat di situs berita sinarharapan.co, hari Kamis (31/12) kemarin.

Mengawali artikel perpisahan itu, Daud menceritakan kesulitan yang dihadapi wartawan Sinar Harapan kala diterbitkan pertama kali, tanggal 27 April 1961. Saat itu, wartawan harus jeli dan mampu membangun hubungan dengan narasumber demi mendapatkan berita pertama.

Sinar Harapan pun berhasil melewati zaman-zaman serbaterbatas, serbaterlarang, dan tertutup saat itu dengan membuka, mempererat, dan memperluas hubungan dengan narasumber. Narasumber terpercaya Sinar Harapan datang dari beraneka rupa golongan dan latar, profesi, serta keahlian,” kata Daud.

Dia melanjutkan, tradisi membangun jaringan kuat narasumber tetap dibawa ketika Sinar Harapan diterbitkan kembali pada 2 Juli 2001, setelah pemerintah Orde Baru membekukan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) Sinar Harapan pada 9 Oktober 1986. Sinar Harapan yang semula dan Sinar Harapan yang terbit kembali berbakti bagi yang tertindas, yang diabaikan, yang terancam hak hidupnya.

“Di sini termasuk kaum minoritas oleh asal keturunan, kesukuan, ras, agama, dan golongan. Ada pula kaum yang terpinggirkan, seperti masyarakat adat,” ucapnya.

Menurut Daud, silaturahmi yang terus-menerus disegarkan dengan narasumber membentuk suatu komunitas Sinar Harapan yang setia. Para narasumber bahkan kerap mengingatkan atau memberi umpan tentang berbagai hal aktual dan strategis yang harus dipedulikan. Sebulan sekali, para tokoh tersebut berkumpul di kantor Sinar Harapan untuk berdiskusi tentang berbagai topik. Perbincangan dalam diskusi itu menjadi bahan tulisan yang eksklusif guna disajikan ke khalayak pembaca.

“Di luar mereka tidak mungkin bisa bertemu satu sama lain karena perbedaan sikap dan pandangan yang sengit bisa berkumpul di Sinar Harapan dalam suasana terbuka. Mereka bercengkerama seperti tidak pernah ada soal sebelumnya di antaranya. Tokoh-tokoh yang di luaran tampak kaku akhirnya bisa cair di Sinar Harapan dan bertegur sapa dengan lu-gue” katanya.

Daud menilai, semua ini karena para narasumber Sinar Harapan peduli pada masalah yang terjadi. Ini terlebih lagi karena suasana diskusi di lantai empat itu selalu untuk mencari jalan keluar secara damai, seperti yang menjadi salah satu moto Sinar Harapan, “Yang berdasarkan kasih”.

Akhir kata, Daud selaku Pemimpin Umum  Sinar Harapan meminta maaf kepada  para narasumber yang setia, karena sudah tidak terbit lagi pada 2016. Mereka pun berterima kasih dan bersyukur mempunyai teman-teman yang telah bersama hadir di Sinar Harapan sejak penerbitan pertamanya dan berlanjut pada penerbitan keduanya.

“Kami berterima kasih sekaligus memohon maaf kepada penyumbang tulisan dan gambar, serta kelompok pemerhati dan pemikir yang kreatif yang secara sukarela mengasuh rubrik-rubrik khusus. Mohon maaf dan terima kasih kami sampaikan pula kepada para mitra kerja sama, para pengiklan, dan penyalur Sinar Harapan,” kata Daud.

“Tentunya pula terima kasih dan mohon maaf kepada segenap pembaca setia Sinar Harapan. Kiranya segala yang terbaik berlangsung pada 2016,” dia menambahkan.

Berikut artikel perpisahan lengkap Redaksi Sinar Harapan, sebagaimana dimuat dalam situs sinarharapan.co

Dalam masa jaringan telekomunikasi yang masih sederhana dan sulit, kepala kantor telepon di suatu daerah menjadi tokoh penting dan yang pertama disambangi wartawan yang ditugaskan ke daerah tersebut. Hubungan baik dengan kantor telepon menjadi penting karena sehebat apa pun hasil peliputan atas peristiwa di daerah itu tak akan menjadi berita kalau terhambat pengirimannya.

Pada zaman yang masih serbaterbatas dan tertutup, wartawan harus jeli dan rajin membangun hubungan dengan narasumber demi mendapatkan scoop. Koran Sinar Harapan yang diterbitkan pertama kali pada 27 April 1961 telah melewati zaman-zaman yang serbaterbatas, serbaterlarang, dan tertutup ini.

Membuka, mempererat, dan memperluas hubungan dengan narasumber adalah keutamaan Sinar Harapan. Pada hakikatnya bagi setiap media, narasumber adalah sumber hidup. Karena itu, memiliki kekuatan dan keluasan narasumber adalah investasi penting di samping sumber daya manusia (SDM) dan modal.

Narasumber terpercaya Sinar Harapan dengan berbagai kompetensinya datang dari aneka rupa golongan dan latar, profesi dan keahlian, serta lapangan kerja atau usaha. Mereka datang dari pangkat rendah sampai tinggi, dalam jabatan resmi atau partikelir, militer maupun sipil. Hubungan dengan mereka berlangsung dengan hangat, namun tetap menjaga jarak.

Tradisi membangun jaringan kuat narasumber tetap dibawa ketika Sinar Harapan diterbitkan kembali pada 2 Juli 2001. Sesuai misinya, penguatan hubungan dengan narasumber diutamakan di bidang politik, hukum dan keadilan, bisnis, budaya, pendidikan, pelestarian lingkungan, kemaritiman, sampai kesejarahan.

Penting juga diingat bahwa sesuai motonya, “Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, kebenaran dan perdamaian berdasarkan kasih”, bisa dimengerti jika koran ini kentara dalam berpihak. Walau “kebenaran” dalam jurnalistik harus mengaver kedua pihak, dalam konflik kepentingan antara yang kuat dan yang lemah, tampak Sinar Harapan cenderung lebih dulu melihat kebenaran di pihak yang lemah.

Yang Berdasarkan Kasih

Sinar Harapan yang semula dan Sinar Harapan yang terbit kembali berbakti bagi yang tertindas, yang diabaikan, yang terancam hak hidupnya. Di sini termasuk kaum minoritas oleh asal keturunan, kesukuan, ras, agama, dan golongan. Ada pula kaum yang terpinggirkan, seperti masyarakat adat.

Koran ini menjunjung prinsip demokrasi yang utuh, majority rule, minority right. Prinsip ini tidak dimaknai sepotong-sepotong. Koran ini membela keindonesiaan yang majemuk. Sikap ini terpancar dalam pembagian rubrik serta isi berita dan tulisannya.

Silaturahmi yang terus-menerus disegarkan dengan narasumber membentuk suatu komunitas Sinar Harapan yang setia. Mereka bahkan kerap mengingatkan atau memberi umpan tentang hal hal aktual dan strategis yang harus dipedulikan. Sebulan sekali, para tokoh ini—yang terdiri atas pejabat, pelaku, pengamat, dan pakar—berkumpul di kantor Sinar Harapan untuk berdiskusi tentang berbagai topik. Perbincangan dalam diskusi itu menjadi bahan tulisan yang eksklusif guna disajikan ke khalayak pembaca.

Mereka yang di luaran tidak mungkin bisa bertemu satu sama lain karena perbedaan sikap dan pandangan yang sengit bisa berkumpul di Sinar Harapan dalam suasana terbuka. Mereka bercengkerama seperti tidak pernah ada soal sebelumnya di antaranya. Tokoh-tokoh yang di luaran tampak kaku akhirnya bisa cair di Sinar Harapan dan bertegur sapa dengan “lu-gue”. Semua ini karena mereka sama-sama punya kepedulian terhadap masalah yang terjadi. Ini terlebih lagi karena suasana diskusi di lantai empat itu selalu untuk mencari jalan keluar secara damai, seperti yang menjadi salah satu moto Sinar Harapan, “Yang berdasarkan kasih”.

Kepada para narasumber yang setia, kami menyampaikan pamit seraya meminta maaf karena Sinar Harapan sudah tidak terbit lagi pada 2016. Kami berterima kasih dan bersyukur mempunyai teman-teman yang telah bersama hadir di Sinar Harapan sejak penerbitan pertamanya dan berlanjut pada penerbitan keduanya.

Kami berterima kasih sekaligus memohon maaf kepada penyumbang tulisan dan gambar, serta kelompok pemerhati dan pemikir yang kreatif yang secara sukarela mengasuh rubrik-rubrik khusus. Mohon maaf dan terima kasih kami sampaikan pula kepada para mitra kerja sama, para pengiklan, dan penyalur Sinar Harapan. Tentunya pula terima kasih dan mohon maaf kepada segenap pembaca setia Sinar Harapan. Kiranya segala yang terbaik berlangsung pada 2016.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home