Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:03 WIB | Selasa, 22 Desember 2015

Temui Jokowi, PGI-KWI Beri Saran Soal Revolusi Mental

PGI dan KWI usai bertemu Presiden Jokowi, di Istana Merdeka Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, hari Selasa (22/12). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menemui Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, hari Selasa (22/12).

Dua lembaga keagamaan itu membahas berbagai permasalahan yang tengah menyelimuti Bangsa Indonesia, mulai dari jargon ‘Revolusi Mental” milik Presiden Jokowi hingga masalah kebebasan beragama.

Ketua Umum PGI, Henriette Tabita Hutabarat Lebang, mengawali percakapan dengan mengapresiasi pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi selama 14 bulan. Menurut dia, Presiden Jokowi menangkap sinyal yang sama dengan PGI dalam hal ‘Revolusi Mental’. Sebab, pada tahun 2004 lalu, Sidang Raya PGI telah mengangkat tema ‘Berubahlah oleh Pembaharuan Budimu’.

”PGI mengapresiasi capaian pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Jokowi dalam satu tahun ini. Sepertinya Pak Jokowi dan gereja-gereja memiliki antena yang sama dalam hal ‘Revolusi Mental’. Karena pada tahun 2004, gereja-gereja telah mengangkat tema ‘Berubahlah oleh Pembaharuan Budimu’ dalam Sidang Raya PGI,” kata Henriette seperti keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com dari Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom, hari Selasa (22/12).

Lebih lanjut, Henriette mengapresiasi keteladanan Presiden Jokowi dalam merespon harapan publik, terutama yang berkaitan dengan kesederhanaan dan empat pada persoalan yang dihadapi masyarakat.

Senada, Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, juga mengapresiasi kepemimpinan Presiden Jokowi. Menurut dia, pembangunan infrastruktur mengalami perkembangan yang luar biasa.

Revitalisasi Nilai Pancasila

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, Benny Susetyo, mengatakan dunia pendidikan di Indonesia harus lebih mengutamakan pendidikan budi pekerti dibandingkan agama. Sebab, pendidikan agama yang diharapkan mempersatukan justru membuat masyarakat Indonesia kian terkotak-kotakan sebagai sebuah bangsa.

"Pendidikan budi pekerti ini mengajak kita semua menghayati dan melaksanakan nilai-nilai universal, yang pasti ada dalam setiap agama", kata Benny.

Menambahkan, Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom menyampaikan jargon ‘Revolusi Mental’ harus diarahkan menjadi upaya menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila di tengah serangan paham radikal yang mulai masuk ke Indonesia.

Gomar juga mengingatkan Presiden Jokowi, bahwa kerukunan hakiki sebaiknya tidak dirusak dengan berbagai regulasi yang justru membuat kerukunan menjadi tidak bernilai.

“Kerukunan autentik yang sangat eksistensial dalam kehidupan bersama selama ini hendaknya tidak dirusak oleh regulasi yang justru menjadikan kerukunan itu menjadi superfisial, apalagi menjadi sebuah proyek negara,” kata Gomar

Dia pun meminta Presiden Jokowi memberikan perhatiannya pada upaya melahirkan kerukunan lewat proses pembuatan undang-undang, misalnuya seperti Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama atau Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama.

Dalam kesempatan itu, Gomar juga mengapresiasi pidato Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Climate Change Conference/COP) ke-21 di Kota Paris, Prancis, beberapa waktu lalu. Dimana, Presiden Jokowi mengatakan  peran masyarakat adat dalam mitigasi bencana.

Dia menilai, pernyataan tersebut merupakan sebuah kemajuan. Karena, sudah terlalu lama negara mendiskriminasi masyarakat adat, termasuk agama lokal.

Respons Jokowi

Presiden Jokowi pun coba merespon apresiasi PGI dan KWI pada jargon ‘Revolusi Mental’. Menurut Presiden Indonesia ketujuh itu, dirinya belum melakukan apapun untuk mewujdukan ‘Revolusi Mental’ yang selalu dikumandangkannya dalam Pemilihan Presdien (Pilpres) 2014 lalu. Menurut Presiden Jokowi, Indonesia menghadapi kerusakan luar biasa, sehingga sulit untuk menentukan langkah awal revolusi dimulai.

"Sebetulnya saya belum melakukan apa-apa dengan ‘Revolusi Mental’ ini. Kita ini menghadapi kerusakan yang luar biasa, sampai sulit untuk menentukan akan mulai dari mana," ucap Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi melanjutkan, Indonesia mewarisi kerusakan luar biasa dengan keruntuhan moralitas dan kepatutan. Menurut dia, ‘Revolusi Mental’ adalah jalan panjang yang seharusnya ditempuh dari tingkat pendidikan di sekolah dan dalam keluarga.

"Tapi segera muncul gugatan dari kaum muda, katena hampir tiadanya teladan. Masak mau ngajarin ‘Revolusi Mental’, tapi kelakuan penuh cela?," ucapnya.

Presiden Jokowi juga menyampaikan kegalauannya melihat lingkungan birokrasi di Indonesia yang jauh dari upaya mengimplementasikan jargon ‘Revolusi Mental’. Kalau hanya seremoni dan latihan saja, menurut dia, hal tersebut bukan tujuan ‘Revolusi Mental’.

"Gagasan besar para pendiri bangsa ini belum terlaksana, belum mengisi jiwa kita semua,” tuturnya. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home