Loading...
HAM
Penulis: Martahan Lumban Gaol 14:59 WIB | Kamis, 21 April 2016

Tragedi 1965, Luhut: Kecil Kemungkinan Pemerintah Minta Maaf

Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan kecil kemungkinan untuk Pemerintah meminta maaf pada keluarga korban Tragedi 1965. Sebab, menurutnya, hingga kini, belum ada yang bisa membuktikan jumlah korban dan lokasi kuburan missal korban yang terstigma sebagai kelompok (Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Untuk melakukan itu (permintaan maaf) peluangnya kecil," kata Luhut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, hari Kamis (21/4).

Menurutnya, berdasarkan, klarifikasi yang disampaikan mantan anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan dalam acara Simposium Nasional ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan’, hari Senin (18/4) lalu, tidak ada yang dapat memastikan jumlah korban Tragedi 1965.

“Ada angka 400 ribu itu tidak mungkin, 80 ribu juga enggak masuk akal. Tapi kami tidak tutup serta merta, kalau ada yang bisa buktikan angka lebih dan tunjukkan kuburan massal," kata Luhut.

Luhut pun belum memahami betul bagaimana permintaan maaf tersebut, siapa meminta maaf terhadap siapa. Hal itu karena bukti otentik terkait peristiwa itu belum didapat.

"Apakah kami ada minta maaf atau segala macam? Kami belum terpikir. Kita belum tahu minta maaf ke siapa. Ini supaya tuntas dl masalahnya, sehingga ke depan bangsa jangan tersandera masalah HAM," kata Luhut.

Sebelumnya, saat memberikan refleksi dalam penutupan acara Simposium Nasional ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan’, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari Selasa (19/4) lalu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, mengatakan negara harus mengakui keterlibatannya dalam Tragedi 1965.

“Kita tidak mengakui terjadinya aksi horizontal dalam tragedi 65. Namun demikian, kita harus mengakui keterlibatan negara,” kata Sidarto.

Menurutnya, meskipun ‘Perang Dingin’ merupakan peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya Tragedi 1965, sebagai negara, Indonesia harus berbesar jiwa mengaku belum mampu mengelola bangsa yang majemuk secara beradab. Terutama, kata dia, dalam perbedaan ideologi.

“Hal ini masih terus membayangi kita hingga saat ini, kita masih mengelola berbagai perbedaan ras, etnis, agama maupun perbedaan lain, dengan jalan kekerasan,” kata Sidarto.

“Ini meminta kita untuk melakukan refleksi paling mendalam tentang bagaimana kita mengelola negara dan bangsa kita,” dia menambahkan

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home