Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 24 Mei 2014

64 Tahun PGI

Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Hari  ini baiklah kita melihat manifestasi pembentukan DGI—sejak Sidang Raya X 1984 berubah nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja Kristen di Indonesia (PGI)—yang ditetapkan pada sidang 25 Mei 1950: ”Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia.”

Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Para manifestor menegaskan: ”Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”

Dasar pendiriannya ialah kepercayaan bahwa PGI merupakan suatu tanda keesaan, bukan satu-satunya, sesuai amanat Kepala Gereja. Dan kenyataan hidup bergereja di Indonesia memperlihatkan betapa sulitnya menjadi tanda keesaan itu. Dan tanda keesaan itu sungguh penting di negeri kita yang sekarang sedang berjuang dalam mewujudkan demokrasi!

Karena itu, menarik disimak bacaan Alkitab pada Minggu Oikumene: ”Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan…” (1Ptr. 3:8). Seia, sekata, seperasaan berarti satu ia, satu kata, satu perasaan. Ini menjadi begitu penting karena kadang orang berperilaku lain di bibir lain di hati.

Persoalan hubungan antarmanusia sering muncul karena hal ini: lain di bibir lain di hati. Dan ketika orang sadar bahwa kawan bicaranya berperilaku demikian, kemungkinan besar dia pun akan mengambil sikap yang sama. Akhirnya pihak-pihak yang berkomunikasi seperti menggunakan topeng semua. Komunikasi menjadi rekayasa—dan pastilah tidak membangun setiap orang yang berkomunikasi.

Karena itu Petrus melanjutkan agar umat mengasihi saudara-saudaranya, penyayang dan rendah hati. Perhatikan bahwa mengasihi adalah kata kerja aktif. Mengasihi merupakan tindakan aktif—ada upaya dan tidak hanya diam saja. Dan tolok ukur dari tindakan mengasihi bukanlah apa yang dirasakan oleh orang yang mengasihi, tetapi oleh orang yang dikasihi—sebagaimana lagu Panbers: ”Semua bisa bilang sayang. Semua bisa bilang. Apalah artinya sayang tanpa kenyataan.” Itu jugalah panggilan kita di bumi Indonesia. 

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home