Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 20:00 WIB | Minggu, 30 November 2014

7 CEO Beda Agama Berbagi Pengalaman Spiritual

Indra Nooyi, CEO Pepsi.Co, perempuan berdarah India penganut agama Hindu yang menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dalam memimpin perusahaan. (Foto:Bloomberg/Getty Images)

Sebagian besar  pemimpin bisnis di Amerika Serikat memilih menjauhkan urusan iman dan keyakinannya dengan urusan bisnis. Namun, tujuh CEO ini merupakan pengecualian.

Majalah Fortune dalam artikel 7 CEOs with Notably Devout Religious Beliefs pada salah satu edisinya di bulan November, menyajikan profil tujuh eksekutif yang secara terbuka mengakui menjalankan prinsip-prinsip iman dan agama di tempat kerja, dalam membangun karier dan kepemimpinan mereka. Mereka bukan eksekutif main-main. Perusahaan yang mereka pimpin masuk dalam daftar Fortune 500.

Ketujuh eksekutif ini berlatar-belakang agama yang berbeda. Namun, mereka memiliki pengalaman yang mirip, yakni, dalam bekerja, mereka diinspirasi oleh iman dan spiritualitas, baik di dalam maupun di luar ruang kerjanya.

Menurut Andrew Wicks, profesor Administrasi Bisnis di  University of Virginia Darden School of Business, banyak eksekutif tidak terbuka, bahkan menyembunyikan agamanya, karena khawatir hal itu menjadi masalah besar di mata orang.

Padahal,  kata Wicks yang di kampusnya mengajar mata kuliah  Faith, Religion, and Responsible Decision Making, membuka diri tentang keyakinan yang kita anut sesungguhnya penting.

Iman dan keyakinan, tutur dia, merupakan aspek yang sangat kuat bagi seorang CEO mendefinisikan dirinya.

Berikut ini profil ketujuh CEO tersebut.

Indra Nooyi, CEO Pepsi Co

Nooyi adalah satu dari sedikit perempuan dari kalangan minoritas yang bisa menjadi CEO papan atas di Amerika Serikat. Wanita berdarah India ini adalah penganut agama Hindu yang taat, termasuk dengan berpantang alkohol dan jadi vegerarian.

Dalam sebuah wawancara di tahun 1998, ketika  masih menjadi Senior Vice President di Pepsi,  ia mengaku menyimpan patung dewa Hindu, Ganesha, di ruang kerjanya.

Ketaatannya pada agamanya, menurut dia, ia warisi dari ibunya yang rajin sembahyang. "Di rumah, kami memiliki kuil yang sangat besar dan digunakan oleh ibu berdoa tiga sampai empat jam setiap pagi," tutur dia.

Nooyi, 59, secara jujur mengakui menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan keluarga, anak-anak, dan karier. Dan di saat- saat penuh tekanan menghadapi itu semua, tutur dia, ia menemukan ketenangan dari pengalaman spiritualnya.

Donnie Smith, CEO Tyson Foods

Donnie Smith adalah penganut Kristen Baptis yang taat. Tidak hanya rajin ke gereja, ia juga menjalankan hidupnya dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip dari Alkitab.

"Dia tidak hanya mengajarkan isi Alkitab, ia menghidupinya," kata Ronnie Floyd, pendeta di Cross Church tempat Donnie bergereja.

Smith mengaku ia menjalankan keyakinannya dalam segala hal yang dilakukan, termasuk dalam bisnis. “Saya pikir Anda tidak bisa berkata, 'Saya akan melakukan kegiatan agama pada hari Minggu dan di luar itu saya menjalankan bisnis.'" kata dia kepada  The Wall Street Journal pada tahun 2010,

“Iman saya mempengaruhi bagaimana saya berpikir, bekerja dan berkata-kata," tutur dia.

Sejak tahun 2000, perusahaan yang dipimpinnya mempekerjakan lebih dari 115 pendeta. Mereka dikaryakan untuk memberikan dukungan konseling dan semangat karyawan.

Tahun 2009, perusahaan itu mendirikan  Tyson Center for Faith and Spirituality in the Workplace di University of Arkansas. Tujuannya adalah mempelajari dan mengajarkan praktik-praktik terbaik perusahaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip spiritual.

Daniel P. Amos, CEO Aflac Inc.

Daniel P, Amos, 63, dibesarkan dalam tradisi Kristen Metodis yang kuat. Ayahnya merupakan satu dari tiga pendiri Aflac, salah satu perusahaan asuransi terkemuka di AS.

Iman Kristiani mewarnai pandangan keluarganya. Hal itu menjadi budaya dan etika perusahaan yang dia pimpin.

Dalam sebuah wawancara pada Maret 2014 dengan Columbus Ledger-Enquirer, Daniel Amos ditanya tentang ayat dari Kitab Lukas, yang berkata "Kepada siapa diberi banyak, banyak yang diharapkan."

Dia menjawab dengan menekankan betapa mulianya memberi tanpa diketahui orang. "Saya pikir salah satu hal yang paling penting yang ada di Alkitab adalah Anda tidak memamerkan apa yang Anda lakukan."

Amos cukup aktif dalam kegiatan amal. Ia menjadi salah satu pengurus House of Mercy, rumah singgah untuk para tunawisma.  

Ia dan perusahaan yang dipimpinnya juga dikenal memiliki program CSR yang progresif. Baru-baru ini, Amos mendapat penghargaan Dr Martin Luther King Jr. Salute to Greatness Award, atas keterlibatannya dalam masyarakat dan kemanusiaan.

Meskipun Aflac bukan perusahaan religius, "iman penting di Aflac," katanya. Setiap karyawan menerima sebuah buku berjudul "The Way Aflac," yang menguraikan prinsip-prinsip perusahaan, etika, dan kode etik.

"Hampir semua prinsip-prinsip diambil dari Alkitab, diadaptasi untuk digunakan di tempat kerja," kata Paul Amos II, putra Daniel Amos yang digadang-gadang akan menggantikan ayahnya yang akan pensiun.

Pierre Omidyar, mantan CEO Ebay

Kendati ia tidak lagi CEO di situs lelang terbesar dunia yang dia dirikan pada 1995, Pierre Omidyar, 47, bertahan sebagai komisaris utama perusahaan itu dan menjadi tokoh terkemuka di area inovasi, teknologi dan media.

Penganut Buddha dan pengikut setia Dalai Lama, Omidyar sangat royal mendukung dan menyumbang pemimpin Tibet itu. Ia dan istrinya Pamela, kerap turut bersama Dalai Lama berkeliling dunia. Dia juga mendukung Dalai Lama melalui badan amal
miliknya, Omidyar Network.

Ia pun donatur bagi sebuah lembaga tanki pemikir Dalai Lama Center for Ethics and Transformative Values di Massachussetts Institute of Technology (MIT). Ia menjadi tuan rumah bagi Dalai Lama sepanjang 2012 ketika pemimpin Tibet itu datang ke Hawaii, kota tempat Omidyar bermukim.

James Tisch,   CEO Loews Corporation

James Tisch, penganut agama Yahudi, dikenal sebagai pemimpin Loews Corporation, sebuah perusahaan konglomerat yang didirikan ayahnya pada tahun 1946. Namun di luar itu, Tisch juga dikenal dengan keterlibatannya yang sangat luas dalam memimpin sejumlah organisasi Yahudi di AS.

Tisch, 61 tahun, adalah anggota kehormatan dan mantan ketua dari dewan gubernur Badan Yahudi untuk Israel, yang misinya  mendorong orang Yahudi Amerika terhubung, mengunjungi bahkan pindah ke Israel.

Ia juga mantan  pengurus  Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations, sebuah organisasi payung bagi sejumlah isu-isu yang dihadapi oleh orang Yahudi Amerika dan orang Yahudi.

Dia juga terlibat dalam berbagai organisasi lainnya yang misinya sangat terkait dengan kepentingan Yahudi Amerika di negara Paman Sam itu.

Pada tahun 2011, ketika dia dipilih menjadi ketua dewan gubernur Badan Yahudi untuk Istael, ia mengatakan dalam sebuah wawancara, “Ya, jadwal saya sibuk. Tetapi saya menganggap dri saya adalah delegator yang baik."

"Saya menyukai melibatkan diri saya pada misi strategis penting dan saya rela meninggalkan apa saja demi itu."

Arne M. Sorenson, CEO Marriot International

Penganut Kristen Lutheran ini merupakan orang non-Mormon pertama yang menjadi CEO di perusahaan yang didirikan keluarga Marriot itu. Ia juga orang pertama dari non-keluarga Marriot yang menduduki posisi tertinggi.

Walau Sorenson bukan penganut Mormon seperti keluarga Marriott, ia mengakui menyandarkan hidup pada keyakinan imannya sebagai seorang Kristen Lutheran.

Lahir di Tokyo, ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang menjalankan tugas misionaris di kota itu seusai Perang Dunia II. Sewaktu kuliah, Sorenson mengambil dua spesialisasi utama, yaitu Manajemen Bisnis dan Ilmu Agama. Ia lulus tahun 1980.

Ketika kuliah ia menghabiskan waktu musim panas di kota Beirut yang tengah terbelah oleh perang. Ayahnya mengirimnya ke sana dalam sebuah misi gereja.

"Saya disana selama tiga bulan dan menjalani pengalaman spektakuler dan sekarang saya bisa berkata kepada anak saya, dapatkah kamu membayangkan saya dikirim oleh ayah saya sendiri ke zona perang?" kisah dia pada  London Evening Standard pada tahun  2013.

Sorenson mengatakan pengalaman akademisnya di bidang agama relevan dengan kariernya, dalam menghadapi berbagai manusia dari aneka agama dan budaya.

 “Dengan memiliki pemahaman ilmiah tentang tradisi agama mereka, walaupun bukan pakar dalam bidang itu, memahami bahwa tradisi mereka berbeda dengan kita dan kita tertarik akan hal itu, saya kira itu aset yang besar," kata dia dalam sebuah wawancara yang diabadikan dalam sebuah klip video.

Brian K. Bedford, CEO Republic Airways Holding Inc.

Ketika menjadi CEO perusahaan ini pada 1999,  Bedford mengatakan ia telah memutuskan membawa iman Katoliknya ke tempat dia bekerja.

“Kami telah membangun bisnis bersama-sama sejak itu," kata dia kepada  The Denver Post pada 2009.

“Saya ingin menjadi manusia seutuhnya dalam semua aspek di hidup saya setiap hari.”

Pria berusia 52 tahun ini yang juga ayah dari delapan anak, mengaku sangat menyukai buku  Triumph: The Power and the Glory of the Catholic Church karangan sejarawan H.W. Crocker III  dan menjadikannya favoritnya.

Tatkala muncul dalam serial televisi  Undercover Boss pada 2010, ia berulang kali bicara tentang Tuhan dan berdoa dengan karyawan-karyawannya yang yang mengadukan kesulitan-kesulitan kepadanya.

Dalam serial itu pula, kamera mengambil adegan ketika ia mencium tanda salib di lehernya dan membaca alkitab sebelum tidur.

Pernyataan iman juga sangat tampak jelas dalam dokumen-dokumen perusahaan yang dipimpinnya.

Dalam sebuah dokumen yang diberi nama Our Vision, tertulis kata-kata sebagai berikut: “Kami percaya bahwa setiap anggota kami, apa pun keyakinan agamanya, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah."

Bedford mengatakan ia sangat nyaman dengan mengekspressikan keyakinannya di depan publik, kendati banyak juga yang merasa sebaliknya.

"Kami mencoba hidup diatas perintah Tuhan. Ketika kita bicara tentang iman di tempat kerja, kita bicara tentang bagaimana memperlakukan orang secara adil.”

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home