Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 11:34 WIB | Selasa, 23 Juni 2015

Ada Apa dengan DPR?

SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini ada hal-hal yang menimbulkan pertanyaan besar terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dua hal, setidaknya, yaitu tentang dana aspirasi yang dijatahklan sebesar Rp 20 miliar untuk setiap anggota dewan untuk program di daerah pemilihan mereka, dan tentang perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Pertanyaan ini bahkan sebenarnya menyangkut hakikat Dewan sebagai lembaga legislatif.

Dana aspirasi diusulkan pada periode lalu, dan telah ditolak publik, tetapi muncul kembali pada pembahasan Rancangan APBN tahun 2016. Jika usulan ini sampai lolos, maka akan mengacaukan sistem pemerintahan, di mana sistem pemisahan / pembagian kekuasaan akan makin rancu. Imbas selanjutnya adalah kontrol dan keseimbangan (check and balances) dalam kekuasaan makin tidak jelas. Hal ini berarti ada pembiaran sehinga demokrasi tidak berjalan.

Oleh karena itu, memang patut dipertanyakan mengenai agenda-agenda yang berkembang di politisi Senayan. Kencenderungan kuat adalah kepentingan angota dewan pribadi untuk investasi politik. Dewan yang kinerjanya masih lambat ini, sayangnya mengabaikan agenda untu memperkuat demokrasi dan memperjelas sistem pemerintahan yang makin akuntabel.

BACA JUGA  :                                                           

Pembuatan UU

Hal kedua adalah tentang rencana perubahan UU tentang KPK. Adalah hal yang wajar dilakukan perubahan terhadap sebuah UU. Masalah, proses dan prosedurnya yang banyak menimbulkan pertanyaan, sehingga mengesankan adanya pemaksaan kepentingan kelompok tertentu atas perubahan ini.

Beberapa waktu lalu ada kesimpang-siuran informasi tentang siapa pengusul perubahan UU KPK? Di kalangan politisi Senayan disebutkan sebagai inisiatif Dewan, namun ada yang menyebutkan keinginan pemerintah. Namun belakangan dari Istana Presiden keluar penyataan bahwa Presiden Joko Widodo tidak menyetujui perubahan itu.

 Jika tentang dari mana inisiatif ini datang saja tidak jelas, maka perubahan ini bisa menjadi agenda ‘’liar.’’ Prosedur membuat UU atau perubahan UU sudah jelas. Harus ada pihak yang berinisiatif, pemerintah atau Dewan. Prosesnya dimulai dari kajian, sehingga ada naskah akademi, sebelum sampai menjadi draft rancangan UU.

Jika draft ini dari pemerintah, harus diajukan dan disetujui oleh Dewan untuk dibahas, dan usulan itu baru menjadi rancangan UU (RUU). Demikian sebaliknya, jika merupakan usul inisiatif Dewan semestinya adan kelompok (yang memenuhi syarat UU) yang mengajukan draft ke Dewan. Pembahasan di paripurna Dewan akan menentukan usulan itu diterima atau tidak.  Jika usulan diterima, maka Dewan mengajukan rancangan draft itu ke pemerintah, dan akan menjadi RUU, setelah pemerintah menyetujui untuk dibahas bersama.

Jadi, dengan prosedur demikian, maka menjadi pertanyaan besar ketika tentang siapa yang mempunyai inisiatif saja simpang siur. Jika ini terus berlanjut, maka jelas merupakan penyusupan agenda yang pada akhirnya akan membahayakan sistem pemerintahan, dan kerusakan dalam sistem hukum.

Blangko Kosong

Selama ini perubahan UU KPK memang terus disuarakan oleh politisi Senayan, terutama dari kalangan yang ingin melemahkan lembaga pemberantasan korupsi ini.  Hal yang paling nyata adalah lima point yang akan dibahas dalam perubahan seperti blangko kosong yang akan berubah menjadi pasal yang sangat mungkin melemahkan pemberantasan korupsi.

Debngan prosedur dan proses pengajuan yang tidak jelas, seperti apa usulan perubahan itu juga tidak jelas. Sebagai contoh, mengapa politisi Senayan menyebutkan salah satu perubahan adalah  peninjauan pada kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses ‘pro-justisia’?

Jika proses pengajuannya benar, maka yang diasebutkan semestinya sudah berbentuk pasal baru. Jika prosedurnya benar, maka materi yang dibahasan bersama pemerintah sudah dalam bentuk RUU yang menyebutkan pasal-pasal perubahan. Bukan membahas ‘’blangko kosong.’’ Masalahnya, apakah anggota Dewan tidak mengetahui prosedur ini? Atau,  sebenarnya ada sesuatu yang disembunyikan?

Dibahas Sendiri

Yang terlihat makin konyol adalah beberapa pernyataan dari Politisi di Senayan bahwa meskipun Presiden tidak menyetujui perubahan pembahasan akan tetap dilakukan. Jika ini terjadi, maka akan terjadi penyimpangan dalam prosedur pembuatan UU, dan hal itu akan menjadi kesalahan fatal.

Namun jika hal itu terjadi, maka haruis dipahami bahwa tahapannya masih pada pembahasan di internal Dewan untuk menghasilan Draft RUU. Jika itu yang terjadi, memang hal itu yang harus dilakukan oleh Dewan, dan rakyat menunggu untuk melihat seperti apa draft RUU Perubahan atas UU KPK itu, seperti apa usulan Dewan.

Dua masalah ini, khususnya tentang proses perubahan UU KPK, memang menjadi wilayah kekuasaan Dewan sebagai lembaga legislatif. Kita mengasumsikan bahwa semua anggota Dewan sangat paham tentang prosedur itu, dan sebagai negarawan semestinya meyakini bahwa prosedur itulah yang bisa menjadikan pemerintahan bekerja efektif.

Jika yang terjadi sebaliknya atau tidak semestinya, maka rakyat akan bertanya: Ada apa dengan Dewan? Dan pertanyaan yang tak terjawab sudah sepantasnya direspons dengan tindakan koreksi.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home