Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 00:00 WIB | Rabu, 12 Februari 2014

Agama Minoritas: Berjuang dan Bertahan di Republik Islam Pakistan (2)

Agama Minoritas: Berjuang dan Bertahan di Republik Islam Pakistan (2)
Demonstran membentuk dinding di sekeliling Gereja Katedral Katolik Karachi musim gugur lalu, menyerukan kebebasan bagi kelompok minoritas untuk beribadah. (Foto: Pakistan for All)
Agama Minoritas: Berjuang dan Bertahan di Republik Islam Pakistan (2)
Umat Gereja Katolik St. Peter di Karachi menghadiri ibadah Natal segera setelah gereja terbesar itu resmi dibuka pada 2011. (Foto: AP Photo/Fareed Khan)

KARACHI, SATUHARAPAN.COM – Berbagai kelompok agama minoritas di Republik Islam Pakistan berusaha memperjuangkan hak-hak beragamanya dan bertahan hidup di Tanah Airnya itu.

Huffington Post pada Senin (10/2) memaparkan hasil laporan tentang hubungan antaragama yang dilakukan oleh International Center for Journalists dan didanai oleh Henry Luce Foundation.

Laporan ini di antaranya memaparkan perkembangan situasi keberagamaan di Pakistan, juga inisiatif masyarakat untuk saling menguatkan dalam memperjuangkan hak dan menjaga perdamaian.

Keprihatinan Umat Kristen-Katolik

Ribuan orang melakukan misa di St. Peter, gereja Katolik dengan tiga lantai dan berukuran 6.400 meter persegi setiap Minggu di Pakistan.

Umat datang dengan mengenakan tunik dan celana katun terbaik. Mereka duduk bertelanjang kaki di bangunan tanpa kursi, gaya yang diadaptasi dari mesjid. Mereka menyanyikan lagu pujian dengan tabuh genderang dan denting piano. Saat matahari terbenam, lampu menyala di ruang doa 24 jam, sesuatu yang umum di Barat namun hal yang sangat jarang terjadi di sana.

St. Peter merupakan gereja terbesar dan termahal di Pakistan. Pembangunan gereja ini menghabiskan $3.8 juta (setara Rp. 46 miliar). Gereja ini dibuka dua tahun lalu dan dipuji sebagai tanda kemajuan kekristenan dan agama minoritas di Pakistan.

Di balik ukurannya yang besar dan peningkatan jumlah kehadiran umat, kesulitan yang dihadapi umat di sini sama banyaknya dengan yang dihadapi oleh rumah ibadah non-Islam lainnya di negara Islam itu. Para penjaga berada di luar gedung untuk melindungi umat dari kemungkinan adanya bom bunuh diri atau penyerangan lainnya.

Doa-doa dipanjatkan untuk para martir Kristen selama ibadah. Pemimpin ibadah menggunakan anggur yang tidak mengandung alkohol atau sirup anggur selama Perjamuan Kudus. Alasannya bukan hanya karena anggur tanpa alkohol atau sirup anggur itu lebih murah, tetapi juga untuk menghindari amarah umat Islam yang meyakini bahwa meminum minuman beralkohol adalah dosa.

Keprihatinan bergema di antara pemimpin Katolik yang mengatakan kekerasan yang mereka hadapi adalah kemarahan terhadap Barat yang salah arah. Umat Kristen disalahkan atas serangan pesawat tak berawak dan invasi militer ke Afganistan dan Irak.

Setelah serangan bulan September di Peshawar, Uskup Joseph Coutts, tokoh Katolik di Karachi yang mengawasi St. Peter, menuntut pemerintah untuk serius menangani intoleransi yang telah mengkhawatirkan.

Beberapa minggu setelahnya, selama kunjungan ke salah satu konferensi Vatikan, Coutts menyebarkan seruannya ke pemimpin Kristen internasional agar menekan pemerintah untuk menjamin HAM kelompok minoritas.

“Bahkan tindakan-tindakan kecil seperti salam pribadi Paus Fransiskus kepada umat Islam di seluruh dunia saat Ramadan dapat membantu menghilangkan citra Kristen Barat sebagai musuh Islam,” ujar Uskup dan memperbaiki kesan buruk yang tumbuh selama pemerintahan Paus Benediktus XVI.

Benediktus memicu kemarahan di antara umat Islam setelah pidatonya pada 2006 yang mengutip kaisar Bizantium yang mengatakan Islam “jahat dan tidak manusiawi”. Pada 2011, ketika Vatikan berada di bawah Benediktus meminta Pakistan untuk mencabut UU antipenghujatan, protes terhadap umat Kristen meledak lagi.

“Fransiskus, yang berhasil merangkul umat non-Kristen, dapat memberikan dampak positif pada status Katolik di Pakistan,” ujar Rev. Fransiskus Gulzar, pastor di Gereja Katolik St. John di Youhanabad.

Sekitar 100.000 umat Kristen berada di luar ibukota budaya Lahore, kota di mana ketegangan Kristen-Islam semakin meningkat.

Gulzar mengatakan sikap dunia internasional bukanlah solusi untuk masalah yang terjadi di kelompok minoritas Pakistan, “jika (Paus Fransiskus) tetap mengucapkan hal-hal yang baik tentang Islam, ini akan membuat umat Islam memiliki pandangan yang lebih baik tentang umat Kristen di negara mereka sendiri.”

Perkembangan Kelompok Minoritas

Kisah tentang penguatan kelompok minoritas kini mulai bertumbuh, dari gemerlap rumah ibadah baru seperti St. Peter yang semakin berkembang, hingga usaha pertahanan diri yang terorganisasi dengan baik di antara umat non-Islam.

Sejumlah aktivis gerakan lintas agama kini juga berkembang. Mereka mendorong pendidikan multiagama dan usaha mengurangi kekerasan. mereka juga meraih dukungan dari para pendeta dan kampus-kampus.

Sebagian pemimpin kelompok agama minoritas kini berbicara di dunia internasional melalui media dan organisasi HAM. Mereka mengharapkan tekanan diplomatis dari Amerika Serikat (AS), sekutu politik dan sumber bantuan untuk negara itu. Mereka juga mengharapkan pemimpin agama di dunia dapat memperkuat keadaan bagi kelompok minoritas di Pakistan.

Kelompok toleran Pakistan mengatakan akan mewujudkan target selanjutnya, yaitu sedikit toleransi bagi teroris.

“Orang-orang yang menyatakan Barat sebagai musuh adalah orang-orang yang sama yang menyatakan non-Islam dan bahkan Islam Syiah di sini harus sama,” ujar Michelle Chaudry, pendiri Cecil and Iris Chaudry Foundation, lembaga nirlaba Pakistan yang memusatkan perhatian pada usaha mendorong kerja sama lintas agama dan pendidikan bagi non-Islam.

“Semakin buruk terorisme sejak peristiwa 11 September, maka semakin buruk pula situasi di antara kelompok minoritas,” tambahnya.

Kursus Pertahanan Diri, Gratis

Di Akhtar Colony, perkampungan miskin yang warganya mayoritas Kristen, pensiunan perwira angkatan laut Pakistan Munawar Chouhan menawarkan kursus pertahanan diri secara gratis. Kursus ini ditujukan untuk penjaga keamanan gereja sejak awal musim gugur.

Sekolahnya ini secara eksklusif melayani remaja dan pemuda Kristen berusia 20-an, yang ia rekrut melalui iklan di surat kabar, kemudian ia latih dari kantor.

Chouhan melatih relawan mengenai teknik operasi keamanan, menggunakan diagram dan memukul patung manekin untuk menunjukkan bagaimana mendeteksi adanya bom dan senjata api. Mereka belajar untuk bisa mengenali pakaian besar yang kerap digunakan kelompok teroris, wajah-wajah asing, dan tas atau karung yang tidak diakui.

Ia memulai kelas kursusnya setelah Taliban Pakistan terlibat dalam bom bunuh diri yang membunuh 78 orang umat dan melukai 130 orang lainnya pada bulan September di gereja Katolik Peshawar, ibukota provinsi di bagian barat laut, dekat Afganistan.

“Untuk setiap kisah yang baik, ada satu kisah buruk. Kami harus melindungi milik kami, atau tidak ada seorang pun yang akan melakukannya,” tegas Chouhan.

Chouhan, yang merupakan seorang Katolik dan anggota jemaat St. Peter, seperti kebanyakan anggota minoritas lainnya telah mengadopsi ucapan salam dalam tradisi Islam, yaitu “assalamualaikum” yang berarti “damai besertamu”.

Ia telah melatih sedikitnya 75 anggota keamanan, dan mengutus mereka ke gereja-gereja di sekitar kota. Ia yakin bahwa program pelatihannya itu telah menjauhkan karakter-karakter mencurigakan dari rumah-rumah ibadah, namun murid-muridnya masih belum menangkap orang yang disinyalir akan melakukan penyerangan.

“Bagi orang-orang yang merasa tak berdaya untuk mengambil bagian dalam perjuangan agama mereka, kami memberi mereka suatu cara untuk berperan kembali,” ujar Chouhan.

Kelompok Perlindungan Masyarakat

Program kursus yang digagas oleh Chouhan hanyalah salah satu dari sekian banyak usaha pertahanan.

Di Peshawar dan Lahore, para pemimpin agama Kristen telah memberi instruksi agar gereja-gereja melatih relawan keamanannya; beberapa di antaranya telah menambah pagar keamanan dan detektor metal.

Gereja Katolik, yaitu denominasi Kristen terbesar di Pakistan, telalu memulai sedikitnya 15 “kelompok perlindungan masyarakat”. Kelompok ini merupakan jaringan ekumenisme yang bertugas memantau ancaman-ancaman yang mungkin dihadapi oleh gereja-gereja lokal dan pelanggaran HAM di antara umat Kristen, seperti kawin paksa dengan Islam.

Sementara itu, Pakistan Ex-Servicemen Association, sekelompok mantan anggota militer, kini menyediakan jasa keamanan di puluhan gereja di seluruh negeri setiap Minggu.

“Kami berjuang untuk kelangsungan hidup kami,” ujar William Sadiq, aktivis Protestan yang bekerja dengan Chouhan dan menjalankan Action Committee for Human Rights, yaitu organisasi pelayanan sosial di Karachi.

“Jika para ekstremis lebih banyak yang mempertahankan diri, mereka mungkin akan mulai mundur,” ujarnya optimis.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home