Loading...
SAINS
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 17:36 WIB | Kamis, 03 Maret 2016

AIMI: Perusahaan Susu Formula Langgar HAM

Nia Umar, Anggota Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), sebagai narasumber dalam kegiatan pertemuan edukasi yang diberi judul “Exclusive Breastfeeding & International Code of Marketing of Breastmilk Subtitutes”, hari Kamis (3/2), di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI), Jakarta (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Pihak perusahaan susu formula menurunkan kepercayaan diri perempuan atas tubuhnya untuk menyusui anaknya, hal ini melanggar hak perempuan untuk bisa menyusui bayinya,” kata Nia Umar, Anggota Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), dalam kegiatan pertemuan edukasi yang diberi judul “Exclusive Breastfeeding & International Code of Marketing of Breastmilk Subtitutes”, hari Kamis (3/2), di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI), Jakarta.

Menurut Nia, “Pihak perusahaan susu formula di Indonesia melakukan praktik dagang yang tidak etis karena bekerja sama hingga mengelabui bidan-bidan (tenaga kesehatan) agar mempromosikan produknya. Cara tersebut ditempuh dengan melakukan kontrak kerja sama agar para ibu yang setelah melahirkan langsung bisa memberikan susu formula yang diproduksi perusahaan tertentu. Fenomena ini yang mendorong terjadinya penurunan angka ibu menyusui karena bayi ketika begitu lahir langsung diberikan susu formula oleh tenaga kesehatan (bidan) yang tidak bertanggung jawab sehingga setelah itu ibu tidak bisa lagi menyusui anaknya.”

Nia melihat hal itu merupakan bentuk pelangaran hak asasi manusia yang nyata-nyata terjadi dimana-mana. Oleh karena itu, harus ada advokasi untuk melindungi hak ibu untuk menyusui dan hak bayi untuk menyusu.

“Pemerintah tidak pernah absen dalam hal ini, tapi masih ada celah-celah yang bisa dimainkan, dan itu berakibat buruk pada ibu dan anak. Pemerintah, masyarakat, dan tenaga kesehatan harus bersinergi untuk mendorong pemberian pelayanan kepada ibu dan bayi dengan baik dan benar. Ibu harus bisa menyusui anaknya, dan semua pihak adalah ujung tombaknya” katanya.

Nia mengatakan AIMI saat ini sedang fokus melakukan advokasi ihwal perubahaan masa cuti maternitas bagi ibu hamil yang bekerja di Indonesia dari tiga bulan menjadi 6 bulan. Hal ini dimaksudkan agar para ibu dapat memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada bayinya, karena menyusui tidak hanya mengenai memberikan ASI kepada bayi, tetapi juga mengenai kontak dan interaksi langsung yang sangat penting bagi ibu dan anak. “Masa ASI eksklusif adalah enam bulan, dan bisa diteruskan pemberian ASI kepada anak hingga berusia dua tahun” katanya.

Nia memandang segala peraturan yang ada di Indonesia mengenai hak bayi sudah berjalan, tapi masih sebagian, dan juga kurang dalam hal monitoring pelaksanaannya.

“Kalau tidak ada monitoring, ya hanya seperti macan ompong atau dalam hal ini tidak memiliki efek jera bagi pihak-pihak yang melanggar. Peranan masyarakat untuk mendukung pemerintah mengawasi dan memberikan sanksi sangat diperlukan,” ujar Nia.

Menurut Nia, “Edukasi serta penyampaian informasi mengenai pentingnya menyusui harus sesuai dan akurat agar ibu-ibu di Indonesia dapat terus memberikan ASI kepada anaknya. Selain itu, ibu menyusui juga harus mendapatkan dukungan, jika ibu gagal menyusui, kesalahan bukan semata-mata pada ibu.”

AIMI juga menyoroti bentuk dukungan lain bagi proses ibu menyusui, yaitu mengenai tempat kerja yang harus mendukung pemberian ASI eksklusif dengan memberikan ruang khusus menyusui.

“Undang-undang sudah mengatur bahwa ada sanksi bagi perusahaan jika tidak memenuhi itu,” kata Nia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home