Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 08:05 WIB | Senin, 02 April 2018

Ajarlah Aku Mendengar

Kebanyakan orang mendengarkan bukan karena ingin tahu. Mereka mendengarkan dengan niat menanggapi (Stephen Covey)
Mendengarkan (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Betapa sering orang mengabaikan kuasa sebuah sentuhan,  senyuman, sapaan yang ramah, telinga yang mendengarkan, pujian dari hati, atau hal kecil apa pun yang menunjukkan adanya perhatian, namun mampu mengubah sebuah kehidupan.  

Ketika salam pagi hari diiringi wajah yang kecut; ketika sebuah pujian terasa dibuat-buat; ketika saat mendengarkan menjadi saat untuk memikirkan apa yang ingin diutarakan sebagai tanggapan terhadap apa yang sedang dikatakan dan saat berbicara merupakan kesempatan untuk menunjukkan: Ya, saya paham, saya sudah tahu sebelum Anda mengatakannya, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan itu, atau ya, saya tahu tetapi gagasan saya lebih baik daripada apa yang Anda katakan.

Terbayangkah Anda ketika Anda berbincang dengan orang yang ekspresi wajahnya sudah menunjukkan ketidaksabarannya untuk membalas dengan sanggahan atau Anda sudah tahu bahwa berita baik dari Anda hanya akan ditanggapi dengan berita ”yang lebih baik” menurut pemahaman teman bicara Anda itu? Mungkin Anda akan cepat belajar bahwa ”teman yang itu” bukan teman yang nyaman untuk bertukar pikiran.

Mungkin saja ia baik untuk menimba ilmu, baik juga untuk mengenal kehebatannya, namun bukan teman yang secara sepadan bisa menjadi pendengar yang baik demi berbagi. Karena ketika ia berbicara, ia hanya mendengar suaranya sendiri. Ia tidak mendengar suara teman bicaranya, siapa pun itu, baik itu teman, rekan kerja, tapi khususnya subordinat. Yang lebih penting baginya adalah mengutarakan pemikirannya sendiri ketimbang memahami pikiran dibalik kata-kata teman bicaranya.

Padahal, mendengarkan dikatakan sebagai bentuk ”suara paling nyaring” dari kebaikan dan keterbukaan hati bagi orang lain. Mendengarkan juga merupakan hakikat terpenting dari proses coaching seorang atasan kepada bawahannya. Coaching yang baik selalu, sekali lagi: selalu diawali dengan kemauan untuk mendengarkan.  Listening to others. Bukan dengan memberikan arahan. Atau memberikan instruksi. Atau mengkoreksi kesalahan bawahan, apalagi mengkritik.

Mengapa demikian? Karena salah satu hal yang membuat orang merasa dihargai adalah ketika ia didengarkan. Tanpa diinterupsi atau dikritik atau dibantah. Dan saat orang merasa dihargai, ia merasa pantas dan semakin percaya diri untuk meneruskan hal baik yang telah ia lakukan. Ia akan termotivasi untuk berbuat lebih baik terus menerus. Motivasi dari dalam membuat orang bersedia melakukan hal yang luar biasa, sekalipun hal itu menurut  pemiikirannya berada di luar kekuatannya. Napoleon Bonaparte bahkan meyakini bahwa prajurit yang termotivasi dari dalam dirinya akan bersedia mati bagi jenderalnya.

Tampaknya sulit. Akan tetapi, inilah jalan terbaik untuk membangun jembatan komunikasi. Dengarkanlah dengan keingintahuan yang sungguh, berbicaralah dengan kejujuran, bertindaklah dengan integritas. Masalah terbesar kita dengan komunikasi adalah keengganan untuk mendengarkan. Kita mendengarkan karena ingin menanggapi. Jika kita mendengarkan dengan keingintahuan yang sungguh, kita akan mencari apa yang tersirat di balik kata-kata itu.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home