Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 17:59 WIB | Sabtu, 10 Mei 2014

Akibat Keserakahan Pengembang, Sejarah Gondolayu Terancam Hilang

Akibat Keserakahan Pengembang, Sejarah Gondolayu Terancam Hilang
Spanduk "GONDOLAYU ORA DIDOL" pada Jum'at (9/5) terpampanng di depan gapura Kampung Gondolayu Lor, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Spanduk ini sebentuk protes kaum muda karena melihat kenyataan bahwa sejarah kampung mereka terancam hilang.
Akibat Keserakahan Pengembang, Sejarah Gondolayu Terancam Hilang
Akibat Keserakahan Pengembang, Sejarah Gondolayu Terancam Hilang
Salah satu spanduk yang dipasang di RT 57 bertuliskan "JANGAN KORBANGKAN KAMI UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI".
Akibat Keserakahan Pengembang, Sejarah Gondolayu Terancam Hilang

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Spanduk warna merah menyala seukuran 2x1 meter terpampang di depan gapura Kampung Gondolayu Lor, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Spanduk ini bertuliskan 3 kata yang cukup mencolok perhatian para pengguna jalan, “Gondolayu Ora Didol” (Gondolayu Tidak Dijual). Usut punya usut, spanduk ini dipasang sekira 3 hari yang lalu (Rabu, 7/5) oleh sekelompok pemuda warga RW XI, Kampung Gondolayu Lor. Spanduk ini merupakan bentuk protes terhadap keberlangsungan kehidupan mereka yang terancam terusir dari tempat di mana selama ini mereka lahir, tinggal, dan besar.

Satuharapan.com mencoba menelusuri latar belakang menyoal pemasangan spanduk tersebut. Ternyata spanduk dengan nada protes juga dipasang di berbagai tempat strategis di wilayah RW XI, Kampung Gondolayu Lor. Beberapa spanduk tersebut bertuliskan, “Jangan Korbankan Kami untuk Kepentingan Pribadi”, “Gondolayu Lestari Tanpa Guyuran Materi”, “Hidup Sederhana Tak Punya Apa-apa Tapi Banyak Cinta. Tampaknya pemasangan spanduk yang digalang oleh para pemuda di Kampung Gondolayu Lor ini merupakan bentuk protes terhadap kenyataan yang kini harus diterima, di mana banyak bangunan dan tanah di Kampung Gondolayu Lor telah dijual ke beberapa calo atau makelar tanah. Bahkan ironi terjadi ketika satu Rukun Tetangga (RT) tepatnya RT 61, sekira 99% rumah yang berdiri di sana telah dirobohkan.

“Ini adalah bentuk protes kami terhadap keserakahan pengembang dan para calo yang mencoba mencaplok tanah leluhur kami. Aksi ini dilakukan karena kami melihat tidak adanya gerakan nyata dari masyarakat, terutama pihak RW, menghadapi kenyataan yang jelas tampak di depan mata, bahwa sejarah Gondolayu terancam hilang dan Kampung Gondolayu Lor akan hilang dari peta Jogja,” ungkap Sutarto, salah satu penggerak aksi pemuda pada Kamis (8/5).

Ketua RW XI, Kampung Gondolayu Lor, ibu Endang Titiek mengungkapkan bahwa tanah dan bangunan yang ada di wilayah Kampung Gondolayu Lor memang menarik minat investor (pengembang). Oleh karena itu, muncul berbagai cara untuk membeli tanah dari warga.

“Sekitar 3-4 tahun yang lalu, pada awalnya muncul calo atau makelar tanah yang berusaha membeli tanah warga. Kami berusaha memediasi dengan mempertemukan para calo ini dengan warga, namun belum terjadi kesepakatan harga. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya, tiba-tiba saja tanah warga mulai dibeli dan beberapa bangunan mulai dirobohkan,” demikian disampaikan oleh Endang Titiek pada Kamis (8/5).

Salah satu warga, bapak Dwi Muryanto yang tanahnya telah dijual mengungkapkan bahwa sebenarnya proses transaksi jual-beli tanah tidak lewat institusi RW, melainkan antara calo dengan pemilik tanah.

“Kami didatangi calo atau makelar tanah yang berniat untuk membeli tanah kami. Kami sebenarnya menolak. Tapi berhubung sertifikat tanah ini masih menjadi satu dengan pemilik lama yang kebetulan tinggal di Surakarta, maka para calo ini menghubungi pemilik tanah. Pemilik tanah setuju untuk melepaskan tanahnya, meskipun pada dasarnya kami menolak. Tapi mau bagaimana lagi, kini kami terpaksa pindah,” demikian disampaikan oleh Dwi pada Jum’at (9/5).

Hal yang menjadi kegelisahan pria yang menjabat sebagai sekretaris RW XI ini adalah pembayaran yang ia nilai tidak benar. Pasalnya, cara pembayaran yang dilakukan oleh para calo ini tidak dilakukan sekaligus secara tunai, melainkan mencicil.

“Awalnya kami diberi sekitar 30% dari harga yang disepakati. Saat itu sertifikat tanah sudah diambil oleh para calo. Karena ketidaktahuan kami, tidak ada kesepakatan pelunasan yang 70%. Pelunasan 70% baru diberikan sekitar 2 tahun sejak uang yang 30% itu diberikan. Sekarang bisa dibayangkan, uang 30% untuk biaya makan selama hampir 2 tahun sudah habis. Bahkan untuk beli rumah baru sekalipun juga tidak mencukupi,” prostes Dwi Muryanto.

Bapak Hardi, seorang warga yang menempati status tanah yang bukan miliknya (ngindung) juga menyampaikan kekhawatirannya. Dia khawatir bagaimana jika pemilik tanah setuju untuk menjual tanah, maka dia bingung harus tinggal di mana.

“Saya menempati tanah ini sudah puluhan tahun lamanya. Sejak menikah, memiliki anak, hingga sekarang telah memiliki beberapa cucu. Pada awalnya saya hanya disuruh untuk menempati tanah ini karena kebetulan pemilik tanah adalah mertua saya. Tapi sertifikat kepemilikan tanah tidak atas nama saya. Saya khawatir jika pemilik tanah setuju untuk menjual tanah ini, maka kami akan tinggal di mana lagi?,” kata Hardi pada Jum’at (9/5).

Penelusuran satuharapan.com menyebutkan bahwa warga di Kampung Gondolayu Lor pada dasarnya menolak jika tanahnya dibeli oleh para calo atau makelar tanah. Mereka merasa bahwa selama ini Gondolayu Lor telah memberikan kenyamanan, keamanan, dan rasa gotong royong (guyup-rukun). Oleh karena itu, mereka khawatir jika suatu saat nanti mereka pergi dari Gondolayu Lor, maka rasa nyaman, aman, dan guyup-rukun itu tidak mereka temukan lagi.

“Urip neng Gondolayu ki kepenak mas. Tonggone yo penak, lingkungane yo penak. Tambah meneh, kene ki cedhak karo ngendi-ngendi, koyo rumah sakit, stasiun, tugu, malioboro, pasar, lan liyane (Hidup di Gondolayu itu enak. Tetangganya enak, lingkungannya juga nyaman. Selain itu, lokasi Gondolayu juga strategis karena dekat dengan tempat-tempat vital, seperti rumah sakit, stasiun, Tugu Jogja, Malioboro, pasar, dan lain sebagainya, “demikian disampaikan oleh Mbah Atun, salah satu warga yang menolak untuk menjual tanahnya pada Kamis (8/5).

Menanggapi kenyataan ini, menurut penuturan ibu Endang Titiek, pihak RW telah berusaha melakukan sosialisasi ke warga seputar transaksi jual-beli tanah, namun tampaknya sosialisasi tersebut kurang mengena. Pasalnya penelusuran satuharapan.com menyebutkan bahwa banyak warga yang tidak tahu soal jual-beli tanah.

“Adol-tinuku lemah ki opo? Aku ra ngerti kepiye kuwi adol-tinuku lemah. Sik diukur ki opone? Jembar lemahe, bangunane, penake urip neng kene, opo kepiye. Nek aku mas, pokoke mung siji, lemahku ora tak dol (Jual-beli tanah itu apa? Saya tidak mengerti tentang proses jual-beli tanah. Hal-hal yang menjadi tolok ukur jual-beli tanah itu apa? Apakah luas tanahnya, bangunannya, kenyamanannya, atau hal lainnya. Kalau saya, pada intinya cuma menginginkan satu hal, tanah saya tidak dijual,” ungkap bapak Ponimin dengan nada kesal.

Penduduk di Kampung Gondolayu Lor yang terbagi ke dalam 7 RT (mulai RT 55-61) kini mulai harap-harap cemas. Pasalnya beberapa tanah di beberapa RT telah mulai terjual. Sebut saja tanah di RT 58, 59, dan 61. Mereka khawatir karena sejarah kampung, kehidupan, kenyamanan, dan masa depan anak-cucu mereka akan sirna karena keserakahan para pengembang yang mereka tidak kenal dan calo tanah serta makelar yang terus menerus melancarkan bujuk rayu agar para warga mau melepaskan tanah mereka. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home