Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:06 WIB | Kamis, 22 Mei 2014

Analisis: Musibah=Ujian dari Allah?

Pemandangan pesisir Teluk Palu hingga Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah yang bebukitannya meranggas akibat aktivitas pertambangan galian C, Senin (19/5). Puluhan perusahaan tambang mengeruk ratusan meter kubik ton batu dan kerikil dari wilayah tersebut yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan tatanan sosial warga di sepanjang pesisir tersebut. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Banyak orang memahami bencana atau musibah yakni kesusahan atau penderitaan hidup yang dialami seperti tertimpa bencana alam, dihukum penjara atau menderita sakit sebagai cobaan atau ujian dari Allah. Lalu orang menyebutkan ungkapan-ungkapan yang dipahami sebagai ajaran agama, seperti “Allah tidak akan memberikan ujian yang tidak dapat ditanggung oleh umat-Nya”.  Pemahaman bahwa musibah adalah ujian Allah misalnya disampaikan orang-orang kepada Puput Melati ketika suaminya, Ustad Guntur Bumi ditangkap polisi. Juga, kasus sakitnya komedian, Olga Syahputra, dipahami dan disebut-sebut sebagai musibah dan ujian dari Allah.

Pertanyaan terhadap pemahaman itu adalah:  apakah musibah atau kesusahan dan penderitaan adalah benar cobaan atau ujian dari Allah? Apakah Allah hendak mencobai atau menguji manusia dengan membuatnya menderita? Atau, apakah Allah sekejam itu, membuat orang menderita untuk mengujinya?   

Cerita-cerita kitab suci menunjukkan bahwa musibah atau penderitaan manusia terjadi bukan sebagai ujian tetapi sebagai penghukuman Allah karena pelanggaran, kejahatan  atau dosa yang dilakukan manusia. Dalam cerita kejatuhan dalam dosa dan akibatnya,  Adam, Hawa dan ular mengalami kesusahan atau penderitaan hidup akibat dihukum Tuhan karena pelanggaran mereka.  Kain dalam cerita pembunuhan saudaranya Habel,  kota Sodom dan Gomora, raja Daud  dan bangsa Israel mengalami musibah atau penderitaan karena dihukum Tuhan atas kejahatan dan dosa mereka. Jadi sebenarnya, musibah di sini adalah penghukuman, bukan sebagai ujian Allah.

Dari peristiwa kejatuhan manusia di dalam dosa, ujian tidak datang dari Tuhan tetapi dari materi yang menggoda (dalam bentuk apel yang indah) dan rayuan atau bujukan Iblis. Kemampuan dan kekuatan kesetiaan Adam dan Hawa terhadap aturan atau hukum Tuhan diuji. Lalu karena tergoda, jatuhlah mereka di dalam dosa dan akibatnya dihukum Allah dengan kesusahan atau penderitaan. Jadi orang mengalami penderitaan atau musibah disebabkan oleh penghukuman atas ketidakmampuannya melawan godaan atau ujian dan kejatuhan dalam  dosa. Tuhan adalah pihak yang memberi aturan, manusia melanggarnya lalu Tuhan menghukum. Bukan Tuhan, tetapi Iblis yang menguji atau mencobai.

Contoh lain yang menunjukkan bahwa bukan Allah tetapi Iblis sebagai pihak yang mencobai adalah peristiwa pencobaan terhadap Yesus di padang  gurun. Jelas yang mencobai adalah Iblis dengan berbagai rayuan dan tawaran materi dan kekuasaan. Tetapi Yesus tidak terpengaruh, bahkan sebaliknya Dia melawan godaan Iblis itu dengan iman dan hikmat-Nya, dengan ketaatan atau kesetiaan pada aturan atau hukum Allah. Iblis akhirnya menyerah, dan Yesus tidak jatuh dalam pencobaan sehingga Dia tidak mengalami bencana atau penghukuman. Seandainya Yesus terpengaruh oleh rayuan Iblis sehingga jatuh dalam dosa, sebagai manusia juga Ia tentu dihukum. Tapi itu tidak terjadi. Kekristenan mengajarkan bahwa Yesus memang mengalami penghukuman yaitu menderita dan mati di salib, tetapi itu bukan akibat dosa-Nya, karena Ia memang tidak berdosa. Yesus menderita dan mati sebagai terhukum untuk menanggung penghukuman terhadap manusia karena dosa mereka.

Hukum Allah identik dengan hukum alam. Orang mengalami penderitaan atau musibah tidak dengan tanpa sebab dari dirinya sendiri.  Seseorang mengalami sakit, kecelakaan, dipenjara dan bahkan mengalami bencana gempa bumi, tsunami atau banjir karena ada andil dari perilakunya sendiri. Selalu ada andil dari yang bersangkutan terhadap musibah yang dialami.  Tidak mandi dan makan tepat waktu saja dapat menjadi penyebab sakitnya seseorang.  Dan mungkin yang tidak disadari banyak orang bahwa penggunaan AC, BBM dan Listrik (yang menyebabkan pemanasan bumi) berakibat gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan banjir.  Jadi ada sebab dan akibat; ada “dosa” yang dilakukan sehingga ada penghukuman; hukum alam, hukum Allah.  (Di sini perlu dipahami bahwa ada penderitaan sebagai hukuman Allah (paham theodisi)  dan penderitaan yang disebabkan oleh kehendak bebas Allah, yang diperlihatkan dalam cerita-kasus Ayub di Alkitab-Perjanjian Lama).

Ada dua hal utama yang dilakukan oleh orang yang mengalami musibah. Pertama, menjauh atau bahkan meninggalkan Tuhan karena kekecewaannya; yang menganggap bahwa Tuhan tidak peduli atau membiarkannya menderita. Kedua, mendekat kepada Tuhan, baik oleh inisiatif sendiri atau dorongan orang lain.  Dalam mendekatnya itu, ia berefleksi dan yang positif adalah menyadari kekurangan atau kesalahan dan menerima musibah itu sebagai akibat perbuatannya (atau banyak orang yang memahami atau menerimanya sebagai “ujian” Tuhan terhadapnya). 

Kesadaran itu akan berdampak penyesalan, lalu pertobatan, perubahan atau pembaruan hidup, yang menghindarkan dirinya dari musibah yang sama.  Orang yang menyikapi musibah secara positif akan menjadi cerdas atau bijak dalam menyiasati hidup sehingga menjadi lebih baik.  Dengan fungsi pembelajaran, penyadaran dan perubahan hidup itu, memang musibah dapat menjadi sarana “ujian”.  Tetapi musibah atau penderitaan itu pada dirinya sendiri  tidak dimaksudkan sebagai ujian, apalagi dianggap dari Tuhan.  Atau, musibah bukan dibuat Tuhan untuk menguji seseorang tetapi sebagai alat penghukuman.

Sebenarnya, manfaat utama dan langsung dari  mendekat kepada Tuhan ketika menghadapi musibah adalah orang dihibur dan dikuatkan. Menjadi sarana penghiburan dan penguatan adalah bagian dari fungsi utama agama, khususnya kepercayaan akan adanya Tuhan.  Tapi tentu setiap orang tidak menghendaki dirinya mendapat penghiburan dan kekuatan atau menjadi lebih dekat kepada Tuhan melalui penderitaan atau musibah; tetapi dari pengalaman hidup yang menyenangkan atau dari realita alam yang menakjubkan.  Karena itu, yang patut dilakukan adalah menghindari perbuatan yang dapat berakibat penderitaan atau musibah; tidak menyepelekan hidup, tidak berbuat dosa. Sebaliknya, menciptakan hal-hal indah dalam hidup, melihat keagungan Tuhan dalam alam ciptaannya serta menikmati dan mensyukurinya.

Stanley R. Rambitan/Teolog –pemerhati agama dan masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home