Loading...
EKONOMI
Penulis: Prasasta Widiadi 19:04 WIB | Selasa, 14 April 2015

Bappenas Imbau Indonesia Kurangi Ekspor Migas

Josaphat Rizal Primana (paling kiri), Syamsu Alam (kedua dari kiri, Direktur Hulu PT Pertamina), Menteri ESDM Sudirman Said (kedua dari kanan) dan Menteri Perindustrian Saleh Husin (paling kanan) di dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi, Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia, Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (14/4). (Foto: Prasasta Widiadi).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas Josaphat Rizal Primana menjelaskan Indonesia harus mengubah pandangan tentang pengelolaan minyak dan gas sebagai energi yang dapat dijadikan sumber keuangan negara. "Kita harus mulai mengubah pola pikir, penerimaan negara tidak boleh menggunakan ekspor migas karena kita sudah terlalu lama bertindak seperti itu," kata  Josaphat  di dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi, Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia, Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (14/4).

Josaphat menjelaskan hal ini tidak dapat disepelekan mengingat cadangan Sumber Daya Mineral di Indonesia tidak banyak, dikhawatirkan akan terjadi krisis energi dalam waktu dekat. Dia memberi contoh bahwa  rasio elektrifikasi Indonesia  rendah yaitu sekitar 650 kwh (Kilo Watt Per Hour) per kapita, jauh lebih rendah dibanding vietnam yang mencapai lebih dari 1.000 kwh per kapita.

Rendahnya rasio elektrifikasi listrik di Indonesia disorot Anggota Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu Komisi VII DPR mendesak PT PLN Nusa Tenggara Barat (NTB) meningkatkan rasio elektrifikasi di provinsi yang beribu kota Lombok tersebut, yang masih rendah, di mana masih ada 36 persen rumah tangga yang belum menikmati listrik.

“Itu perlu ditingkatkan, karena jika dilihat daerah tersebut, masih punya potensi untuk berkembang," kata Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika saat Rapat Kerja dengan Kementerian ESDM dan jajarannya, dan PT. PLN (Persero).

 Menurut Kardaya, elektrifikasi ini juga menyangkut prasarana listrik pedesaan yang harus ditingkatkan. "Mengenai listrik diakui memang supplay dan demand di NTB cukup memprihatinkan. Banyak terjadi pemadaman. Kami meminta pembangkit listrik yang terbengkalai ditingkatkan," Kardaya menjelaskan. Dia mengakui, memang ada potensi yang cukup besar seperti panas bumi. Namun, masih terkendala perizinan karena terletak di kawasan hutan lindung.

Pemerintah menyatakan Rasio Elektrifikasi (RE) atau daerah yang telah teraliri listrik di seluruh Indonesia mencapai 80 persen, namun data tersebut diragukan oleh Komisi VII DPR. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Yudha, meyakini bahwa wilayah Indonesia yang masih belum teraliri listrik lebih dari 20 persen.

"Pemerintah selalu menggembar-gemborkan RE rasio. PLN bilang paling tidak 80 persen, tapi ketika kami pergi (ke daerah NTB), ada wilayah yang belum ada listrik. RE bilang rendah kalau bicara nasional," kata Satya.

"Kita masih jauh tertinggal. Jangan bandingkan dengan Malaysia yang sudah 3.000 kwh per kapita, atau Singapura 5.000 kwh per kapita," kata Josaphat menambahkan.

Josaphat mengimbau agar Indonesia mengurangi ekspor komoditas mineral dan migasnya ke luar negeri, untuk lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Josaphat menyebut Indonesia merupakan negara terbesar pengekspor batu bara di dunia, padahal cadangannya hanya tiga persen di dunia. "Selain itu, kita juga menjadi salah satu negara pengekspor gas terbesar. Padahal cadangannya hanya 2,5 persen di dunia," Josaphat menjelaskan. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar pemerintah lebih mendahulukan kepentingan pemenuhan energi di dalam negeri sebelum menjualnya ke luar negeri.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home