Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 16:54 WIB | Rabu, 19 November 2014

Basuki Kini Resmi Gubernur

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. (Foto: Kartika Virgianti)

SATUHARAPAN.COM – Banyak rintangan dalam perjalanan kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, baik ketika masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, ataupun saat menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Namun hari ini, Rabu (19/11), pria kelahiran Gantung, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, pada 29 Juni 1966 itu, dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo.

Catatan sejarah menyebutkan, sejak era Proklamasi sampai masa Reformasi, etnis Tionghoa jarang diperhitungkan keberadaannya di ranah pemerintahan di Tanah Air. Pada era rezim Soeharto, etnis Tionghoa diharuskan mengganti nama Tionghoa mereka. Tjong Ban Hok (sumber lain menuliskan Zhong Wan Xie), nama pemberian ayah, yang membuatnya akrab dipanggil Ahok, pun menjadi Basuki Tjahaja Purnama.

Angin sejuk dirasakan oleh kaum Tionghoa di Tanah Air pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (alm), yang dikenal sebagai Guru Bangsa sekaligus tokoh pluralis. Gus Dur menetapkan hari raya Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, setara dengan hari raya keagamaan lainnya seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Paskah, Nyepi, Galungan, Waisak.

Walaupun Basuki tidak pernah disebut-sebut sebagai tokoh pluralis atau tokoh lintas agama, selama masa kepemimpinannya ia tidak pernah menilai jajaran di bawahnya dari etnis atau agama tertentu. Ia menilai jajaran di bawahnya dari kinerjanya.

Jika kinerjanya tidak baik, bahkan terlibat korupsi, hanya satu kata: “pecat!” atau “pidanakan!”. Demikian Basuki menerapkan ketegasan di lingkungan Pemprov DKI.

Belum lama, misalnya, terjadi pemecatan pejabat Eselon II, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Manggas Rudy Siahaan, yang diturunkan menjadi staf karena kinerjanya dalam menangani banjir buruk. Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan Udar Pristono juga dipidanakan karena kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta. Kini posisinya digantikan oleh M Akbar, yang sebelumnya menjabat Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat (pejabat Eselon III).

Kini, Basuki mencatatkan namanya dalam sejarah Indonesia sebagai gubernur di DKI Jakarta yang berasal dari etnis minoritas di DKI dan beragama nonmuslim. Sebelumnya, Jakarta juga memiliki gubernur nonmuslim, yakni Henk Ngantung, dari suku Minahasa, pada periode 1964-1965.

Basuki mempersunting Veronica Tan, kelahiran Medan, dan dikaruniai tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Insinyur lulusan Teknik Geologi Universitas Trisakti ini pernah dikritik sebagai kutu loncat, lantaran berpindah-pindah partai, mulai dari PPIB, Golkar, dan Gerindra.

Merasakan pahitnya urusan birokrasi, lantaran usaha bisnisnya sering kali dipersulit pemerintah setempat di kampung halamannya, Basuki memutuskan terjun ke politik pada 2003. Dimulai dari terpilih sebagai anggota DPRD Belitung Timur periode 2004-2009, Golkar kemudian mengantarkannya menduduki kursi Komisi II DPR RI di Pemilu Legislatif 2009. Ia lalu terpilih sebagai wakil gubernur untuk periode 2012-2017 ketika maju bersama Joko Widodo.

Borong Penghargaan

Sampai hari ia dilantik saat ini, Rabu (19/11), Basuki telah menerima berbagai penghargaan karena kepemimpinannya yang mengedepankan transparansi. Wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, misalnya, tidak heran melihat warga sipil datang dan menunggu di depan ruangan kerjanya, untuk menyampaikan keluhan secara langsung. Pemandangan seperti itu jarang terlihat di mana pun.

Pada 2006 Basuki dinobatkan oleh Majalah Tempo sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Pada 2007, ia mendapat penghargaan sebagai tokoh antikorupsi dari Gerakan Tiga Pilar Kemitraan, yang terdiri atas Kadin, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan), dan Masyarakat Transparansi Indonesia.

Pada 16 Oktober 2013, Basuki kembali mendapat penghargaan antikorupsi dari Bung Hatta Anti Corruption Award.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home