Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:52 WIB | Senin, 19 Oktober 2015

Belajar dari Revolusi di Tunisia dan Suriah

SATUHARAPAN.COM – Revolusi di Tunisia dan Suriah memiliki kesamaan di mana keduanya terjadi dalam gelombang Revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring) yang berhembus mulai 2011. Di kedua negara revolusi berrkembang menjadi konflik yang bersimbah darah, namun di Suriah terjadi begitu mengerikan: sekitar seperempat juta manusia tewas, dan jutaan rakyat mengungsi hingga menjadi masalah internasional.

Revolusi di kedua negara, seperti halnya di negara-negara yang dilanda Arab Spring, dimulai dengan perlawanan terhadap pemerintahan otoritarian dan keinginan membangun demokrasi. Namun transisi damai gagal diciptakan dan muncul perlawanan senjata menggulingkan rezim lama. Bedanya, di Tunisia rezim akhirnya tumbang, dan di Suriah terus bertahan.

Konflik berdarah di kedua negara diwarnai oleh latar belakang yang panjang adanya konflik sektarian (yang biasanya juga penuh dengan praktik diskriminasi), dan menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya kelompok ekstremis yang menggunakan kekerasan terhadap kelompok lain.

BACA JUGA:  Nobel untuk Kekuatan Dialog dalam Perdamaian

Memutus dengan Dialog

Namun sekarang kita menyaksikan ada hal yang sangat berbeda. Tunisia mampu membangun dialog, menyusun konstitusi baru yang inklusif, menyelenggarakan pemilihan parlemen dan pemilihan presiden. Proses ini mendapat apresiasi internasional dan kuartet inisiator dialog mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2015 ini yang diumumkan beberapa hari lalu.

Di Suriah, dialog terus-menerus gagal, Konferensi Jenewa I dan II gagal mencapai kesepakatan yang ditaati, dan kedua pihak memilih jalan senjata dan pembunuhan dan menebarkan tragedi yang mengerikan. Bahkan di kalangan kelompok pemberontak timbul faksi-faksi yang tidak hanya berbeda pandangan, tetapi juga saling membunuh. Upaya untuk memulai dialog sejauh ini hanya sebagai teriakan di padang gurun yang tidak digubris.

BACA JUGA : Dialog Adalah Satu-satunya Jalan bagi Suriah

Kepentingan Asing

Selama ini perang di Suriah disebut sebagai perang saudara atau perang sipil. Namun penyebutan itu terasa meragukan. Sebab kehadiran kelompok ekstremis yang mendeklarasikan sebagai Negara Islam Iran dan Suriah (NIIS), yang sebenarnya ditolak di dunia Islam, telah melibatkan militan dari berbagai negara, bahkan banyak disebut setidaknya dari 100 negara.

Sekarang, terkuak dengan nyata kehadiran kekuatan Prancis dan Amerika Serikat yang diklaim hanya untuk menyerang NIIS. Dan belakangan Rusia dengan terbuka masuk dengan pesawat tempur yang melancarkan serangan udara di bumi Suriah, bersama kekuatan angkatan laut yang berbasis di Laut Tengah.

Ini bukan hanya bantuan peralatan dan persenjataan militer, tetapi juga keuangan dan sudah juga masuk personil militer Rusia di Suriah. Dan dengan pengakuan dari Suriah, Iran ternyata juga melakukan hal yang sama di sana, dengan menurunkan garda nasional mereka.

Perang Proksi

Perang di Suriah jelas masih diwarnai konflik berdarah sektarian, tetapi juga perang sipil antara rezim dan kelompok pemberontak. Namun kehadiran negara-negara  kuat seperti Prancis, AS, dan Rusia menunjukkan bahwa Suriah telah menjadi ajang perang kepentingan banyak negara. Kekuatan regional di sana juga terlibat secara nyata seperti Iran, Irak, Turki dan Arab Saudi.

Para pelaku luar bukan hanya jihadis asing NIIS, tetapi sudah melibatkan kekuatan atas nama negara asing. Dan mereka memanfaatkan para petarung lokal untuk saling membunuh demi kepentingan nasional atau penguasa negara masing-masing. Hal ini yang menyebabkan ujung konflik di Suriah makin kabur dan tak jelas.

Konflik di Suriah terlihat makin suram, sementara Tunisia tengah melihat fajar baru. Perbedaan yang mencolok dari situasi keduanya adalah kehadiran pihak asing di Suriah. Perang di sana sudah bergeser dari perang saudara ke perang  yang lebih luas, yang oleh para pakar disebut sebagai perang proksi,  yang melibatkan kekuatan dan kepentingan negara lain.

Tunisia melihat bahaya besar perang saudara maupun perang proksi yang tumbuh dari konflik sektarian. Mereka mampu mengisolasi konflik mereka sebagai konflik dalam negeri, dan diproses di antar kelompok-kelompok setempat melalui dialog dan proses politik.

Bahayanya Konflik Sektarian

Hal lain yang patut menjadi pembelajaran, termasuk bagi kita di Indonesia, adalah keyakinan Tunisia pada proses dialog di antara mereka dengan melibatkan semua komponen. Dialog ini, yang dilakukan secara konsisten, menghasilkan tatanan baru yang inklusif. Sekaligus menunjukkan bahwa kekuatan senjata yang didemonstrasikan di Suriah, terbukti bukan jalan penyelesaian konflik, bahkan sebaliknya.

Di sisi lain, Tunisia memiliki keberanian untuk menghentikan konflik sektarian dengan membangun negara dan pemerintahan yang inklusif. Sementara di Suriah, konflik sektarian terus mendapatkan bahan bakar untuk berkobar.

Di kedua negara sebenarnya konflik sektarian memiliki sejarah yang panjang, hanya saja Tunisia melihat dalam visi yang berbeda dan berani untuk  mengakhiri. Dalam konteks Indonesia ini menjadi catatan penting bahwa kita tidak bisa membiarkan benih konflik sektarian, yang tampaknya belakangan ini muncul dan tumbuh makin banyak, seperti terakhir terjadi di Kabupaten Aceh Singkil.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home