Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 09:11 WIB | Rabu, 04 Juni 2014

Dicari, Pemimpin Daerah Pluralis

Ahmad Suaedy (kanan) saat memberi pemaparan pada Selasa (3/6). (Foto: Prasasta)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia Ahmad Suaedy mengatakan masyarakat Indonesia, terutama minoritas, mendambakan pemimpin-pemimpin di daerah yang toleran dan pluralis. Hal itu ia kemukakan pada Selasa (3/6) siang WIB, di Utan Kayu, Jakarta sebagai bagian dari peluncuran laporan penelitian terbaru Benedict Rogers.

“Di beberapa daerah kita bisa lihat orang banyak menanti lahirnya sosok-sosok yang menjunjung tinggi kebinekaan dan melindungi minoritas, misalnya Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif,” kata mantan anggota DPRD DKI ini.

Suaedy menyebut sang bupati berperan penting bagi keberagaman kota di kaki Gunung Dieng, Jawa Tengah, tersebut.

“Dia adalah sosok religious local leader yang berusaha cukup keras memberi perlindungan bagi keberagamaan di Wonosobo, satu-satunya kota di Jawa Tengah yang tidak dimasuki organisasi garis keras,” Suaedy, direktur eksekutif The Wahid Institute pada awal berdirinya itu, menambahkan.

Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif, menerima penghargaan harmonisasi umat beragama dari Jaringan Antar-Iman Indonesia (JAII) pada Jumat (23/5), sebagai tokoh pluralisme.

Menurut koordinator JAII, Elga Sarapung, Bupati Wonosobo berhak atas anugerah tokoh “Pluralisme” berkat kiprahnya selama ini dalam memberikan jaminan kepada warga masyarakatnya menjalankan kehidupan beragama.

Kholiq Arif  dianggap sebagai kepala daerah yang mampu menghormati dan menghargai semua elemen masyarakat, berkomitmen dan menghormati pluralisme, serta menghargai perbedaan agama warganya tanpa diskriminasi.

“Kita pun harus angkat jempol bagi Pak Ganjar Pranowo, yang jauh-jauh hari menyatakan menjamin kebebasan beribadah Ahmadiyah di Jawa Tengah,” lanjut Suaedy. 

Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo pernah menyatakan pada 2013 bahwa pihaknya tidak akan melarang keberadaan organisasi keagamaan Ahmadiyah di Provinsi Jateng, bahkan politisi PDI Perjuangan ini menegaskan seharusnya pihak daerah membina pengikut Ahmadiyah, bukannya membubarkannya.

Satu lagi nama yang disebut Suaedy adalah KH Dian Nafi, pengurus Pondok Pesantren Al-Muayyad, Makam Haji, Solo.

Dian Nafi adalah pengasuh pesantren tradisional. Bukan sekadar memanjatkan doa, sang kiai muda itu juga terlibat aktif dalam seluruh rangkaian proses mediasi. Tak hanya itu, kegiatan sosial yang dianggapnya sebagai bagian dari suluk spiritualnya itu juga belakangan mengantarkan langkahnya ke berbagai negara, baik untuk menimba ilmu, berbagi pengalaman dengan aktivis negara lain, maupun sekadar menularkan pengetahuannya kepada orang lain.

Kehadiran kiai tersebut di komunitas perdamaian daerah konflik global membuktikan keberhasilan pendidikan ala pesantren, yang setiap harinya selalu berupaya membuat para santri bergumul dengan nilai-nilai luhur agama dalam rutinitas kehidupan sehari-hari.

Kiprahnya juga sekaligus menepis cibiran sementara kalangan yang sering mengidentikkan pesantren tradisional dengan umat Islam yang terbelakang, kampungan, dan kumuh, yang hanya tahu kitab kuning, kain sarung, dan kopiah.

Uniknya, meski sudah mendunia, keseharian sang kiai tetap lekat dengan irama pesantren tradisional yang rendah hati, santun, dan terbuka. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home