Loading...
OPINI
Penulis: Sahala Tua Saragih 00:00 WIB | Kamis, 29 September 2016

Dosen Pemalsu Mau Profesional?

Kasus ribuan dosen yang menyontek saat sertifikasi makin menegaskan wajah pendidikan kita yang sungguh membuat miris. Seharusnya pemerintah, khususnya Kementerian Ristek dan Dikti, bertindak lebih tegas agar tidak menjadi preseden bagi yang lain.

SATUHARAPAN.COM - Semakin lama semakin banyak orang yang mengalami putus saraf malu di negeri ini. Mereka sama sekali tak merasa malu melakukan pemalsuan. Mereka yang menderita putus saraf malu bukan hanya orang yang berpendidikan rendah dan tidak/kurang beriman.

Semakin lama semakin banyak orang justru yang berpendidikan tinggi, berstatus atau berjabatan sangat terhormat, dan tampak tekun menjalankan ibadah agama masing-masing, ternyata sama sekali tak merasa malu melakukan pemalsuan alias penipuan. Apa pun bisa mereka palsukan. Siapa pun bisa mereka tipu. Penyakit nasional ini telah mewabah ke mana-mana.   

Baru-baru ini ada sebuah berita menarik yang berjudul, “Baru 46% Dosen Tersertifikasi”. Hal yang paling menarik adalah kutipan di bawah judul berita tersebut, “Tahun ini ribuan dosen tidak lulus sertifikasi karena menyontek saat membuat tulisan tentang deskripsi diri. Mereka meniru tulisan dosen yang sebelumnya sudah lulus sertifikasi” (Media Indonesia, 15-8-2016). Para dosen selalu melarang keras para mahasiswa menyontek (mencontek) namun mereka sendiri justru mencontek.     

Dalam berita itu ditulis, sebanyak 4.512 dosen perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) mengikuti ujian kompetensi (sertifikasi) pada gelombang pertama beberapa bulan lalu. Dari jumlah ini hanya 2.932 dosen (64,98 persen) yang lulus, sedangkan sebanyak 1.580 dosen (35,02 persen) tidak lulus. Biaya setiap peserta ujian sertifikasi Rp 800.000. Ini berarti pada ujian gelombang pertama saja negara sudah dirugikan sebesar Rp 1.264.000.000. Penyebab banyaknya dosen tak lulus ujian sertifikasi ialah menyontek pada saat penulisan deskripsi diri. Penulisan deskripsi diri merupakan salah satu materi dalam sertifikasi.

“Sebagian besar dosen menulis deskripsi diri mereka dengan menyontek atau copy paste atau copas dari dosen-dosen yang telah lulus sertifikasi,” ungkap Direktur Jenderal Sumberdaya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti di Jakarta baru-baru ini.      

Ghufron memperkirakan para dosen yang tidak lulus ujan sertifikasi itu menyontek deskripsi diri dari dosen-dosen yang telah lulus ujian sejenis dengan harapan bisa lulus juga. Padahal tim sertifikasi memberi perhatian lebih besar terhadap keaslian deskripsi diri tersebut.

Ia mengungkapkan, tahun lalu sebanyak 27 persen dosen peserta ujian seritifikasi juga tak lulus karena menyontek diskripsi dosen yang telah lulus ujian sertifikasi. Tidak disebutkannya jumlah seluruh dosen (biasanya tiga gelombang) yang mengikuti ujian sertifikasi tahun lalu. Tahun ini (baru gelombang pertama) ada sedikit “kemajuan”. Jumlah dosen yang menjiplak deskripsi diri dosen lain “hanya” 20 persen, tapi ini baru satu gelombang. Ini berarti kurang-lebih 900 peserta ujian sertifikasi pada gelombang pertama saja telah menjiplak deskripsi diri dosen-dosen lain.

Padahal, dari semua materi ujian sertifikasi dosen, yang paling mudah adalah menulis deskripsi atau gambaran diri dengan jujur. Dosen yang bersangkutan dituntut untuk tidak melebih-lebihkan keadaan dirinya, dan sebaliknya. Dia menulis dirinya sendiri apa adanya. Memang deskripsinya sangat panjang. Namun apa sulitnya menulis sosok diri sendiri? Para dosen pemalsu itu tampak jelas sangat malas, dan menghalalkan segala cara dengan gampang sekali.       

“Ini sangat merugikan. Kami akan memikirkan bagaimana mekanisme agar para dosen yang tak lulus ini bisa lulus. Tentunya mereka harus melalui serangkaian tes lagi,” kata guru besar Universitas Gadjah Mada Jogyakarta itu.

Ia juga mengungkapkan, dari 180.000-an dosen tetap di Indonesia ternyata baru 46 persen (82.800 orang) yang telah memiliki sertifikat profesi. Ini berarti sebanyak 97.200 dosen tetap lagi yang tidak/belum memiliki sertifikat dosen. Setiap tahun kuota yang diberikan pemerintah untuk sertifikasi hanya sekitar 10.000 dosen. Ini berarti dibutuhkan sembilan-sepuluh tahun lagi baru semua dosen tetap sekarang  memperoleh sertifikat dosen. Waktu ini bisa lebih panjang lagi bila setiap tahun banyak peserta ujian sertifikasi gagal, baik karena mencontek deskripsi diri dosen lain maupun karena faktor lain.

 

Mencontek=penipuan

Entah mengapa, dalam berita itu Ghufron tidak menggunakan kata memalsukan atau menjiplak atau menipu. Padahal bobot tindakan mereka itu tidak sama dengan mencontek yang lazim dilakukan mahasiswa sewaktu ujian tengah/akhir semester. Sesungguhnya mereka jelas-jelas sudah melakukan penjiplakan atau pemalsuan. Dalam konteks hukum, penjiplakan atau pemalsuan tergolong penipuan. Pelakunya harus dihukum berat.         

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (KBBIPB, 2008), sontek atau contek (menyontek atau mencontek) berarti mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak. Arti jiplak (menjiplak) adalah mencontoh atau meniru (tulisan, pekerjaan orang lain); mencontek; mencuri karangan orang lain dan mengakui sebagai karangan sendiri; mengutip karangan orang lain tanpa seizin penulisnya. Palsu berarti  tidak tulen; tidak sah; lancung (tentang ijazah, surat keterangan, uang, dsb); tiruan; gadungan; curang; tidak jujur.

Sebagai perbandingan, Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pasal 25 ayat 2, dengan tegas menyatakan, “lulusan PT yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti  merupakan jiplakan dicabut gelarnya”.  

Dalam berita tersebut Ghufron juga menjelaskan, sertifikasi dosen merupakan tanda seorang dosen tersebut profesional, yakni memiliki integritas, bermoral tinggi, dan berdaya saing. Apakah para dosen yang memalsukan deskripsi diri tersebut layak disebut dosen atau calon dosen profesional? Apa yang bisa kita harapkan dari dosen-dosen pemalsu tersebut? Hal yang sangat mudah saja mereka lakukan dengan curang (kalau tak boleh disebut jahat). Lalu, apakah mungkin mereka membuat dan menulis karya-karya ilmiah (disertasi dan artikel di jurnal-jurnal nasional serta internasional) dengan jujur (tulen)?     

Dalam pasal 3 UU Sisdiknas dinyatakan dengan tegas, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Menurut pasal 1 ayat 2 UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UU G-D), dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam pasal 1 ayat 4-nya dinyatakan, profesional adalah pekerjaaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Ini dipertegas pula dalam pasal 1 ayat 10: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru  atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Apakah kita bisa berharap kepada dosen-dosen pemalsu itu untuk mewujudkan amanat UU Sisdiknas dan UU G-D ini?

 

Hukuman Berat

Sayang, dalam berita itu Ghufron justru mengampuni para dosen penjiplak tersebut. Dia berkata, “Kami akan memikirkan bagaimana mekanisme agar para dosen yang tak lulus ini bisa lulus. Tentunya mereka harus melalui serangkaian tes lagi.” Bila ini benar-benar dilaksanakan, kebijakan Dirjen Sumberdaya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek dan Dikti ini jelas tidak bijak dan mendidik. Para dosen pemalsu itu justru diampuni.

Ini jelas menjadi preseden bagi dosen-dosen yang akan mengikuti ujian sertifikasi. Ternyata penjiplak sama sekali tak dihukum. Mungkin dengan alasan telah menggunakan anggaran negara yang sangat besar, lalu mereka langsung dibolehkan lagi ujian khusus. Semestinya mereka dibuat jera dengan memberi hukuman berat. Mereka seharusnya baru boleh disertakan kembali ujian sertifikasi dosen paling cepat lima tahun mendatang.     

Sebagai perbandingan, beberapa tahun yang silam seorang sahabat saya tidak lulus ujian sertifikasi dosen, padahal dia berlaku jujur (tidak menjiplak). Selidik punya selidik, ternyata dia mendeskripsikan dirinya terlalu tinggi, jauh berbeda dengan penilaian teman sejawat dan mahasiswa (para dosen dan mahasiswa di jurusannya sendiri). Hukumannya cukup berat. Dia baru boleh mengikuti ujian lagi dua tahun berikutnya, dan lulus. 

Nah, bila dosen yang tidak memalsukan deskripsi diri saja dihukum dua tahun, mengapa para dosen yang jelas-jelas menjiplak deskripsi diri dosen-dosen lain tidak dihukum sama sekali? Ini jelas tidak adil. Meskipun kini perguruan tinggi sudah di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dunia pendidikan tinggi harus tetap melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan dan kebudayaan.

Terus terang, kita tak optimistis perguruan tinggi kita mampu menghasilkan para lulusan dan karya-karya yang sangat bagus, sebagaimana yang diharapkan masyarakat, pemerintah, dan pengusaha, bila sangat banyak dosen yang menggampangkan segala urusan, yang menggunakan prinsip tujuan menghalalkan cara.

 

Penulis adalah dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home