Loading...
SAINS
Penulis: Sotyati 17:06 WIB | Senin, 02 Desember 2013

Esthi Susanti Bertekun Melayani Penderita HIV/AIDS

Esthi Susanti Bertekun Melayani Penderita HIV/AIDS
Esthi Susanti (busana merah, duduk baris kedua dari depan). (Foto: Yayasan Hotline Surabaya)
Esthi Susanti Bertekun Melayani Penderita HIV/AIDS

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Peringatan Hari AIDS Sedunia mengingatkan banyak orang pada sosok Esthi Susanti Hudiono (54). Ia disebut-sebut sebagai generasi pertama aktivis HIV/AIDS di Indonesia. Membolak-balik kisah hidupnya, sama saja dengan  membuka catatan sejarah tentang perkembangan virus HIV/AIDS di negeri ini.

Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu tak pernah meluruh semangatnya berkecimpung di bidang itu. “Saya bertahan karena tujuan belum tercapai, yakni terkendalinya epidemi HIV di Indonesia,” katanya kepada satuharapan.com akhir pekan lalu.

Tidak mengherankan ia memegang motto hidup “Maju Terus sampai Berhasil”. “Kalau saya berhenti maka saya berhadapan dengan hati nurani dan urusan etis, karena pengalaman panjang bekerja dan berpikir untuk pengendalian epidemi tidak bisa ditransferkan begitu saja ke orang lain,” katanya.

Urusan HIV dan yang terkait, sangat rumit. Tidak bisa dipelajari melalui buku-buku teks, tetapi harus didalami dengan terjun di dalamnya. “Pengalaman dan jaringan yang telah saya bentuk merupakan aset penting untuk berperan dalam pengendalian epidemi HIV dan AIDS, serta yang terkait seperti trafficking, eksploitasi seksual, dan seksualitas,” ia menambahkan.

Esthi, yang pernah berkarier sebagai wartawan dan guru, mengawali aktivitasnya di bidang penanganan penderita HIV/AIDS pada awal 1990 dengan membuka biro konsultasi melalui telepon di sebuah harian di Surabaya.  Aktivitas itu terus berkembang.

Dari aktivitas itu kemudian dikenal Yayasan Hotline Surabaya, yang didirikan untuk berperan serta mengendalikan epidemi HIV. “Namun, dalam perjalanan yang sudah dilalui selama 20 tahun lebih, ternyata masalahnya tidak hanya soal penyakit yang disebabkan oleh virus, tetapi ternyata terkait dengan urusan kemiskinan, jender, trafficking, eksploitasi seksual, seksualitas, reproduksi,” ia menjelaskan.

 

Berdialog dengan Kehidupan

Kurun 24 tahun berkecimpung dalam penanganan penderita HIV/AIDS, banyak pengalaman yang tak terlupakan oleh Esthi. Banyak pula yang mengguncang batin, meminjam istilahnya. Salah satu di antaranya, pada akhir tahun 1990-an, saat ARV (antiretroviral, obat untuk menekan virus HIV) masih dijual.

Salah satu ODHA, orang dengan HIV/AIDS, seorang perempuan yang bekerja sama dengan Yayasan Hotline Surabaya, mendapatkan subsidi ARV. Ia tidak mau menggunakan ARV karena khawatir tidak mampu meneruskan penggunaan ARV kalau bantuan dihentikan.

Kesehatan perempuan itu kemudian merosot drastis dan harus dirawat di rumah sakit. “Ketika saya kunjungi. Matanya menyorotkan harapan besar agar saya bisa menyelamatkan. Ketika saya pulang mata ekspresi mata itu tidak berubah. Saya merasa tidak berdaya sama sekali ke orang yang begitu mengharapkan bantuan saya,” tutur Esthi, yang mengaku tak mampu mengubur ingatan itu.

Contoh lain ketika salah satu ODHA yang didampingi yayasannya, dan menjadi staf yayasan, dirawat di rumah sakit dalam keadaan yang memburuk.  “Ketika saya pamit, ia menangis keras sekali, tidak ingin saya tinggalkan. Saya membujuknya dengan berjanji akan menemuinya lagi di rumah orangtuanya, karena rencananya ia dipulangkan. Ketika sekali lagi mau pamit, adegan itu terulang,” kata Esthi.

Apa yang ingin ia bagikan adalah perasaan tak berdaya atas apa yang akan terjadi. ODHA acap tidak siap meninggalkan dunia di usia kurang dari 30 tahun. “Karena itu kematian menjadi isu yang menjadi perhatian saya. Saya tahu akan memberi harapan dan kapan mempersiapkan seseorang menghadapi kematiannya,” ujarnya.

Bukan pekerjaan yang mudah berkecimpung terus-menerus di bidang yang sama, menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang. “Butuh berbagai keahlian,” katanya.

Yang penting bagi Esthi adalah berdialog dengan kehidupan melalui orang-orang yang ia dan rekan-rekannya dampingi. Melalui aktivitas itu ia memiliki pengalaman yang melatih keahlian dalam melihat masalah dan mengatasinya.

“Saya masih belajar terus. Kehidupan itu adalah universitas terbaik,” kata Esthi.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home