Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 17:37 WIB | Rabu, 27 Agustus 2014

Etika dan Hukum dalam Sengketa Pilpres 2014

Ketua Mahkamah Konstitusi. (Foto: Elvis Sendouw)

SATUHARAPAN.COM – Keputusan dua lembaga yakni DKPP (Dewan Kehormatan Pelaksana Pemilu) dan MK (Mahkamah Konstitusi) menyangkut sengketa Pilpres 2014 menuai berbagai reaksi. Ada yang menerima tetapi ada yang menolak. Seorang anggota Tim Pembela Prabowo-Hatta, menyatakan kekecewaannya karena keputusan DKPP dan MK dianggapnya bertentangan. MK menolak semua gugatan dari pihak Prabowo-Hatta yang berarti KPU tidak bersalah menurut hukum. Di pihak lain, keputusan DKPP menunjukkan adanya pelanggaran dengan bukti  9 orang diberhentikan dan 30 orang diberi peringatan (dan 20 orang tidak terbukti melanggar kode etik dan nama baiknya dipulihkan).

Berdasarkan perbedaan keputusan itu lalu partai-partai koalisi pendukung Prabowo-Hatta menyatakan bahwa mereka (harus) menerima keputusan MK; bahwa KPU yang digugat tidak melakukan kesalahan seperti dituduhkan, yaitu pelanggaran terstruktur, sistematis dan massive (TSM). Karena itu, Pilpres yang berlangsung 9 Juli 2014 sah menurut hukum sehingga keputusan KPU tentang kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden terpilih diterima. Namun ini bukan berarti mereka menerima legitimasi Pilpres karena walaupun secara konstitusional sah,  mereka meragukan legitimasinya sebab ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat, oknum-oknum KPU dan pemerintah.     

Makna dan Cakupan Etika dan Hukum

Perbedaan hasil keputusan DKPP dan MK terjadi karena pertimbangan berbeda. DKPP yang dijuluki Majelis Etis mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan etis atau etika, sedangkan MK berdasarkan hukum dan undang-undang atau konstitusi. Dengan ini kita lalu harus membedakan antara etika dan hukum.    

Etika menyangkut perilaku atau hal-hal yang baik dan buruk sesuai kepantasan. Etika berhubungan dengan norma, tatasusila atau pedoman hidup yang baik atau pantas. Etika tidak bersifat objektif karena tidak memiliki aturan pasti sebagaimana rumusan hukum. Etika menilai  tindakan mulai niat atau keinginan serta maksud dan tujuannya. Penilaian etika bersifat subjektif namun subjektivitasnya teruji berdasarkan nilai-nilai rasional-logis atau akal sehat dan universal. Pelanggaran etis terjadi dalam perbuatan yang dinilai tidak pantas. Kata “seharusnya” atau “sepantasnya” menjadi kuncinya. Dalam kasus yang ditangani DKPP misalnya berlaku: “seharusnya” pimpinan KPU hadir dan memimpin rapat pleno, tetapi dia tidak hadir, malah berada di tempat lain dan mengurusi soal lain.

Hukum menyangkut tindakan benar atau salah menurut aturan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Hukum bersifat objektif dan mengambil keputusan berdasarkan hal-hal yang sudah pasti atau sudah tertulis. Kata yang dipakai dalam pengambilan keputusan adalah “terbukti” atau “tidak terbukti” benar atau salah. Misalnya, keputusan MK menolak gugatan Tim Prabowo-Hatta didasarkan pada penilaian bahwa pelanggaran atau kejahatan KPU dalam Pilpres 2014 sebagaimana dituduhkan “tidak terbukti” dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massive (TSM). TSM adalah ukuran tertulisnya.  

Soal-Soal Etika dan Hukum di dalam Masyarakat

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dibedakan melalui contoh-contoh di bawah tindakan yang menyangkut etika atau hukum. Seorang pegawai negeri sipil (PNS) menggunakan kendaraan dinas ber-plat merah di luar pekerjaannya, seperti untuk keperluan mudik atau berekreasi, secara hukum tidak bermasalah karena tidak ada aturan tertulisnya. Tetapi itu bermasalah menurut etika. Tindakan tersebut tidak etis karena memanfaatkan yang bukan haknya. Seorang presiden yang membiarkan rakyatnya mengungsi karena diusir dari kampungnya akibat berbeda aliran keagamaan, tetapi mengeluarkan belasan miliar rupiah untuk membantu pengungsi bangsa lain akibat konflik di negaranya, secara hukum tidak ada masalah. Tetapi  itu mengandung masalah etis bagi jabatannya sebagai presiden. Sebagai presiden, seharusnya ia mengutamakan menolong rakyatnya yang sedang menderita sebagai pengungsi di negerinya sendiri.

Banyak anggota DPR tidak memiliki masalah secara hukum karena mereka terpilih setelah melalui  prosedur atau aturan administratif yang berlaku. Tetapi itu bisa bermasalah secara etis jika mereka tidak memiliki kemampuan layak sebagai wakil rakyat yang harus  mengambil keputusan menyangkut hal-hal prinsipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti soal falsafah, ideologi dan undang-undang. Sebenarnya dari segi kemampuan mereka tidak layak tetapi karena memiliki popularitas, uang dan  fasilitas nepotis karena relasi dengan penguasa maka mereka terpilih. Dan, karena ketidakmampuan itu, negara harus dirugikan untuk membayar para staf ahli mereka.  

Penilaian wajar tanpa kekecualian terhadap pemerintah daerah menandakan bahwa pelaksanaan pemerintahan berlangsung bersih, tanpa korupsi, tanpa pelanggaran; jadi secara hukum tidak bermasalah. Tetapi, apakah benar memang  itu tidak mengandung persoalan etis? Apakah benar tidak ada korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan? Apakah betul tidak ada kecurangan, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi rakyat?      

Partai Gerindra yang ngotot agar wakil gubernur DKI Jakarta pengganti Ahok yang naik menjadi gubernur adalah dari partainya, secara hukum atau konstitusi tidak bermasalah karena tidak ada larangan kepala daerah dan wakilnya berasal dari satu partai. Tetapi masalah etis ada. Apakah pantas Gerindra menuntut demikian padahal yang akan menjadi gubernur berasal dari partainya? Bukankah lebih pantas untuk Gerindra membagi kekuasaan dengan PDIP yang adalah pemenang pemilukada DKI dan Jokowi yang mundur dari jabatan gubernur berasal dari PDIP? Bukankah sikap ngotot itu menampakkan  “ketamakan” dan ketidakadilan, dan karena itu tidak etis?

Etika dan Hukum Harus Menjadi Dasar Bersama

Hukum penting dan perlu. Demikian juga etika. Bahkan secara esensial, etika lebih mendasar, ideal dan efektif dibanding hukum. Jika seorang telah berperilaku etis maka otomatis dia akan berperilaku sesuai atau taat hukum. Sebaliknya belum tentu seorang yang hidup menurut aturan hukum, tidak bermasalah secara etis. Jika orang tidak beretika, maka hukum dapat disiasati. Sering terjadi, tindakan yang dilakukan tidak melanggar hukum tetapi ada pelanggaran etis, seperti yang terjadi dalam kasus anggota KPU yang dihukum oleh DKPP karena pelanggaran kode etik. Di sisi lain, dalam keputusan  MK, tidak ada pelanggaran hukum oleh KPU tetapi ada persoalan etis.

Untuk kehidupan yang baik dan benar tentu etika dan hukum harus dijadikan dasar dan tujuan utama dalam setiap tindakan.        

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home