Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 13:55 WIB | Senin, 14 Desember 2015

Freeport Ajukan RI ke Arbitrase Internasional jika Kontrak Diakhiri

Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kerjasama dan Komunikasi Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Se-Indonesia (Fokkermapi) membentang spanduk saat berunjuk rasa di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (27/11). Mereka mendesak pemerintah untuk menolak perpanjangan kontrak PT Freeport di tanah Papua yang dinilai merugikan rakyat Indonesia. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

PONTIANAK, SATUHARAPAN.COM -  Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi),  Sofyano Zakaria, mendesak Pemerintah merenegosiasi perubahan atau amandemen kontrak Freeport Indonesia (FI) agar selaras dengan aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

"Pemerintah harus melakukan perundingan atau negosiasi, yang mungkin sudah dilakukan oleh pemerintah pada pertengahan 2014 dengan membuat nota kesepahaman yang intinya adalah merenegosiasi kontrak tersebut yang disepakati tahun 1991," kata Sofyano Zakaaria kepada Antara di Pontianak, Senin (14/12).

"Dalam renegosiasi ini FI mungkin saja bersedia mengikuti beberapa permintaan itu, tetapi tidak mungkin FI tidak mengajukan persyaratan yang `menguntungkan` bagi mereka, misalnya meminta pemerintah menjamin dan berkewajiban memperpanjang kontrak sebagai jaminan atas kelanjutan bisnis mereka di NKRI seperti yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja sama tahun 1991," ungkapnya.

Menurut dia, Freeport dapat diduga telah dengan seksama mempelajari syarat perpanjangan kontrak kerja sama dengan Indonesia. Dalam kontrak yang dibuat  pemerintah tahun 1991,  terdapat pasal yang memberi hak kepada FI untuk bisa membawa pelanggaran terhadap kontrak yang tidak menguntungkan bagi mereka ke badan arbitrase internasional.

"Dengan demikian, situasi ini tentunya akan membuat siapapun yang jadi menteri ESDM saat ini akan menghadapi dilema. Bagi pihak yang belum mengetahui secara detail persyaratan yang diatur dalam kontrak tahun 1991 tersebut, maka bisa saja berpendapat `jangan diperpanjang`," ujarnya.

Namun jika itu dituruti oleh pemerintah dan ternyata kemudian pemerintah digugat melalui sidang arbitrase internasional, akibatnya bisa runyam. Apabila RI kalah, akan diharuskan membayar tuntutan "ganti rugi" yang diajukan Freeport, sehingga pemerintah dinyatakan telah melakukan perbuatan yang merugikan negara oleh pihak-pihak tertentu.

Disisi lain, pemerintah akan pula menghadapi persoalan yang sangat pelik dan rumit apabila kontrak Freeport diakhiri. Pendapatan negara dan pemda akan hilang selama terjadi penghentian operasi. Kemudian banyak pegawai Freeport yang kebanyakan orang Papua akan hilang pendapatannya dan multiplier effect yang lain, katanya.

"Pemerintah dalam menghadapi Freeport harus cerdas dan ramah ketika melakukan negosiasi, dan harus mampu meyakinkan FI, bahwa di belakang pemerintah ada ratusan juta rakyat Indonesia yang harus diperjuangkan kepentingannya bahwa perpanjangan kontrak Freeport harus memberikan manfaat dan keuntungan yang sebesar besarnya bagi rakyat dan bangsa ini," katanya.

Dalam transkrip rekaman percakapan Setya Novanto dkk, memang terdengar Maroef Sjamsoeddin menyinggung soal arbritrase internasional. Maroef Sjamsuddin kala itu mengatakan bahwa negosiasi divestasi dan kontrak karya dengan Freeport tinggal enam minggu lagi.

"Pak Ketua, waktunya tinggal 6 minggu dari sekarang. Kalau itu tidak keluar, katakanlah 23 Juli nanti, tanggal 1 Juli tidak ada kepastian, maka kita akan ke arbritrase internasional," demikkian Maroef.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home