Loading...
OPINI
Penulis: A. Setyo Wibowo 00:00 WIB | Senin, 18 Juli 2016

Genealogi Kaum Fanatik-Teroris

Sebagai "guru pencuriga", Nietzsche dengan filsafatnya menelanjangi motif-motif tersembunyi di balik fanatisme. Dan kerap kali kesucian agama hanya jadi topeng bagi jiwa-jiwa yang gelisah dan takut.

SATUHARAPAN.COM - Genealogi artinya pencarian asal-usul pohon keluarga. Nietzsche memaknai secara khusus genealogi sebagai pencarian motivasi terdasar seseorang.

Dalam Genealogi Moral I, § 13, Nietzsche menggambarkan proses lahirnya fanatisme kaum budak bermental gerombolan. Alkisah seekor Domba dimangsa si Elang. Para Domba menjadi resah, marah dan benci kepada Elang. “Apa salah kami, kenapa kami yang disasar ?,” gerutu para Domba. Si Elang yang kuat dinilai “jahat”. Para Domba mengunyah-unyah dendam tanpa daya. Mengapa? Karena meskipun bersatu menggalang kekuatan, para Domba tetaplah Domba. Mereka tak mampu menjangkau Elang. Mereka penuh bara kesumat, tanpa tahu harus berbuat apa.

Padahal rasa dendam menuntut pelampiasan. Dendam membara tanpa solusi akan merusak dan menghancurkan para Domba yang defakto hidup dalam kekalahan. Karena membalas keluar tak mampu, maka dendam masuk ke dalam, memunculkan nilai baru serba ideal penuh asketisme (Georges Morel, Nietzsche: Introduction à une première lecture, Paris: Aubier, 1985, hlm. 309).

Para psikolog modern menyebutnya sebagai self defense mechanism. Demi survival, manusia selalu mencari penjelasan atas situasi yang menimpanya. Dan manusia tak mau merasa salah, apalagi kalau kondisinya sedang kalah. Ia perlu menemukan “alasan pembenaran” supaya kelamnya eksistensi bisa ia tanggung.

Domba ingin membalas, namun tak bisa. Maka ia mencari cara lain: ia menciptakan nilai-nilai yang membuat mereka merasa setara bahkan lebih hebat daripada Elang. “Kawan-kawan, kita tidak akan membalas dendam pada Elang. Kalau membalas, apa bedanya kita dengan si Elang? Kita kan jadi jahat seperti mereka. Begini, bukan kok kita tidak mampu. Kita sebenarnya mampu, tapi kita tidak mau melakukannya,” ujar mereka lembut namun dengan mata berkilat.

Sejak itu, para Domba saling bersepakat bahwa “justru dengan tidak membalas, mengalah, dan membiarkan supaya Tuhan sendiri bertindak”, mereka bisa memperlihatkan bahwa mereka lebih “baik” daripada Elang yang “jahat”. Lewat mekanisme seperti itu para Domba menemukan makna “kerendahan hati, kepasrahan dan kebenaran” dalam hidup yang tak adil ini. Ideal yang asketik pun tercipta. Kawanan Domba merasa menang, moralnya setinggi langit, dan tak ada yang bisa menghentikan bila mereka menggulirkan revolusi. Mereka tak akan takut menjadi martir demi ideal asketiknya, karena di situ, katanya, ada kebenaran, surga, gantungan makna hidup mereka.

 

Mental Budak

Kaum Domba bermental budak, menurut Nietzsche, ditemukan di kalangan intellektual cemerlang (Kant, Schopenhauer), seniman terkenal (Wagner), dan juga kaum lemah dan sakit serta, tak lupa, para imam.

Saat ini, kaum fanatik Domba mudah ditemukan di kalangan kaum fanatik agama yang moralnya rigoris serba hitam putih. “Dunia memang jahat, namun kita tidak akan membiarkan diri ikut-ikutan jahat. Kita memang kalah, namun kita buktikan bahwa kita lebih baik. Dunia memang punya mereka, namun kita mendapatkan yang lebih penting: surga. Kitalah sang Pemenang”.

Demikianlah analisis Nietzsche tentang genealogi munculnya nilai universal “baik dan jahat” yang dipegang, diusung dan dipuja gerombolan budak. Dan moral seperti ini jelas berguna. Untuk sejenak kawanan Domba bernafas lega karena menemukan “makna” di balik absurdnya eksistensi yang membuat mereka menjadi pecundang di dunia.

Teori metafisis atau agamis yang membungkusi moral baik dan jahat, di mata Nietzsche, muncul dari kondisi kehidupan yang sama sekali tidak lucu: kegalauan identitas, kebingungan memaknai hidup yang meremukkan dan memorakporandakan. Moral baik-jahat kawanan Domba muncul dari reaksi pada kehidupan yang dianggap tak adil. Saat moral ciptaannya memberi makna, dipegang erat dan diimani karena janji surga yang menyertainya, pada saat itulah kawanan Domba siap merevolusi dunia untuk memaksakan moralnya  (Nietzsche, Beyond Good and Evil § 195, bdk. Genealogi Moral I, § 10: “The slave revolt in morality begins, when ressentiment itself becomes creative and gives birth to values”).

Namun karena reaktif, moral ini tergantung pada musuh rekaan yang harus terus-menerus diciptakan (Amerika, Yahudi, atau Pokemon Go).  Moral kawanan budak tidak kreatif, apalagi indah. Jauh dari itu semua. Moral ini disetir oleh hasrat membalas, sehingga keutamaan yang dikothbahkan tak lain hanyalah spiritualisasi rasa dendam (ressentiment). “Kerendahan hati dan kepasrahan” yang mengalir lancar dari mulut para Domba adalah tipu-tipu rohani pembungkus hasrat balas dendam pada realitas yang membuatnya galau, kacau, tak bisa menerima diri mereka sendiri.

Bagi Nietzsche, filsafat bukanlah sekedar analisis mendalam tentang realitas. Bersama Freud dan Marx, Nietzsche sering disebut sebagai maîtres de soupçon (guru-guru pencuriga). Ia mencurigai bahwa tiap filsafat (pemikiran) menyembunyikan diri si pemikir sendiri.

Lewat pertanyaan genealogis “apa yang sejatinya dimaui seseorang ketika menghendaki sesuatu” (A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Galangpress, 2004, hlm. 171), Nietzsche membedah motif tersembunyi di balik filsafat atau kothbah yang tampak baik, benar, suci dan objektif. Bila banyak filsuf suka berdebat tentang doktrin dan kebenaran, Nietzsche menyatakan dirinya “psikolog” yang lebih berminat menyelidiki “mengapa orang mempercayai apa yang ia percayai sebagai kebenaran”.

Ketika orang memuja kebenaran, Nietzsche memperlihatkan jangan-jangan di situ ada insting gerombolan kaum bingung yang mencari pegangan buat diri mereka sendiri. Alih-alih meninggikan kebenaran, akan terbukti bahwa mereka justru mempertontonkan kekosongan kebenaran pujaan tersebut. Mengapa? Karena di tangan kaum budak, kebenaran malah meluluhlantakkan realitas. Kaum ISIS yang riuh meneriakkan kebenaran Daulah Islamiyah mempertontonkan absurditas kebenaran karena defakto hanya kebengisan tanpa tara yang mereka lakukan. Moral yang dipraktikkan di balik klaim kebenaran yang diusung justru memerosokkan kebenaran ke jurang kelam sejarah manusia.

Dalam Beyond Good and Evil § 10, Nietzsche menunjuk dengan jelas bahwa orang yang memiliki kebutuhan besar akan pegangan/kebenaran adalah kaum fanatik moral yang puritan, yang lebih baik mendekap mati-matian nothing (kekosongan) daripada tanpa pegangan sama sekali. Orang fanatik bingung dengan hidupnya yang serba kalah, ia pikir dengan mendekap ideal asketik ia menemukan makna, terbebaskan dari dunia kosong hampa makna yang ia benci. Dan nyatanya moral yang ia usung justru membuat dunia ini makin runyam.  Sebagus dan sehebat apa pun moral yang dikothbahkan, moral nihilistik kaum budak adalah pertanda “a despairing mortally weary soul, jiwa yang lelah, putus asa, sekarat.”

 

Fanatisme Teroris

Mohamed Lahouaiej-Bouhlel, lahir di Tunisia, pelaku teror truk di Nice (14 Juli 2016 lalu), menurut kesaksian ayahnya, adalah orang yang memiliki masalah psikologis (Kompas, 17 Juli, hlm. 15). Omar Mateen, pelaku penembakan di Orlando (12 juni 2016), adalah seorang gay yang bingung dengan kerasnya agama yang ia anut sendiri.

Mentalnya tidak stabil, menikah dua kali, dan kacau hidup rumah tangganya. Hasna Aït Boulahcen, 26 tahun, yang terlibat dalam serangan di Bataclan Paris tahun lalu, adalah gadis pinggiran kota Paris yang rada gila, penikmat kehidupan, dijuluki cow girl karena tomboy dan berpakaian macho, tak jauh dari alkohol dan narkoba. Anak yang tak pernah baca Al Quran ini tiba-tiba berbaju burqa di tahun 2013, dan 2015 menjadi complice teror mematikan di Paris (130 tewas). Al Zarqawi pendiri ISIS juga dikenal sebagai bajingan kecil, pelaku kekerasan, bertatto, dan menemukan ide-ide radikal sebagai pegangan yang memberinya makna hidup.

Fanatisme dan terorisme bukan privilese orang miskin dan bodoh. Orang pandai dan kelas menengah banyak juga yang labil psikologinya. Para teroris di Dakka (Bangladesh), bulan ramadhan yang lalu, adalah anak-anak kaya berpendidikan universitas. Al Baghdadi adalah kandidat doktor dalam tafsir Hadits. Dan jangan lupa, Bin Laden adalah aristokrat kaya raya Saudi Arabia.

Fanatisme kaum teroris tidak muncul karena agama, kebodohan atau kemiskinan. Seperti labilnya kaum ABG, psikologi yang sakit tidak mengena status sosial dan pendidikan. Terakhir, bagi Nietzsche, moral budak dan moral tuan hanyalah dua tipologi moral yang hadir dalam satu orang yang sama. Gradasinya saja yang berbeda.

Maka, waspada saja: kita semua bisa menjadi orang fanatik!

 

Penulis adalah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home