Loading...
INDONESIA
Penulis: Dis Amalo 14:35 WIB | Rabu, 10 Februari 2016

Gereja Desak Tambang di Timor Tengah Selatan Segera Ditutup

Aktivitas penambangan mangan tradisional di desa Oepuah, Moenleu, Timor Tengah Utara, NTT, Jumat (9/10). Para penambang tradisional tersebut dapat mengumpulkan 300-400 kilogram mangan per hari dengan harga per kilogram Rp700. (Foto: Antara/Prasetyo Utomo)

KUPANG, SATUHARAPAN.COM – Gereja menuntut tambang mangan yang dikelola PT Soe Makmur Resources (SMR) ditutup dan IUP-nya dicabut.

Pater Yohanes Kristo Tara, OFM (JPIC OFM Timor) menegaskan alasan warga dan pihak Gereja meminta tambang ditutup karena menyebabkan konflik sosial dalam keluarga, masyarakat, dan jemaat.

Menurut Pater Yohanes, perusahaan mencaplok tanah milik masyarakat dengan cara mengadu domba pemilik yang satu dengan yang lain untuk saling mengklaim hak milik atas tanah.

“Sejak tahun 2010 ada banyak konflik lahan antarwarga hingga berujung di pengadilan. Itu gara-gara PT. SMR mencaplok tanah milik warga,” kata Pater Yohanes, Rabu (10/2).

Ia menjelaskan, perusahaan tambang tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat massif dan tidak ada reklamasi. Sejak tahun 2010 ada banyak lahan bekas tambang dan lahan terganggu yang tidak pernah direklamasi yakni di blok 2, blok 4, 5, 6, 9 dan 11. Lubang-lubang tambang hanya dibiarkan begitu saja.

Pater Yohanes menjelaskan, tailing (limbah tambang) dibuang begitu saja di sekitar pemukiman penduduk dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain itu, tambang menyebabkan erosi dan merusak DAS yang mengakibatkan pendangkalan sungai.

“Dampak lanjutannya adalah banjir di musim hujan dan kekeringan berat di musim kemarau,” ia menjelaskan.

Disampaikan, pada 2014 Kementerian Lingkungan Hidup memberi sanksi administratif paksaan kepada PT SMR karena melakukan pelanggaran di bidang lingkungan hidup.

Kementerian juga mewajibkan PT. SMR membayar dana jaminan reklamasi dan pascatambang tidak sesuai prosedur aturan. Namun, hingga saat ini perusahaan baru membayar Rp 115 juta untuk biaya reklamasi dan Rp 155 juta untuk biaya  pascatambang. Biaya sebesar itu tidak seimbang dengan luas lokasi pertambangan yang kurang lebih 4.567 hektar.

Pater Yohanes menduga ada tindak pidana kehutanan karena menambang di hutan produksi Laob RTK 186 seluas 600-san hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan baru diperoleh November 2014. Padahal sudah lebih dari 100 hektar kawasan hutan yang sudah ditambang sejak tahun 2010.

Selain itu, PT SMR juga masih memiliki tunggakan Iuran Pinjam Pakai Kawasan Hutan sejak 2014 sekitar Rp 1,3 miliar. Meskipun sudah dua kali tagihan dari Kementerian Kehutanan, tetapi diduga pihak perusahaan yakni PT. SMR belum bayar hingga saat ini.

“Hingga saat ini perusahaan belum pernah melakukan rehabilitasi dan reklamasi lahan bekas tambang dan lahan terganggu di kawasan hutan produksi,” katanya.

Ia mengemukakan, lokasi pertambangan berada sangat dekat dengan kawasan pemukiman, yang hanya dibatasi oleh pagar pekarangan penduduk. Ada juga pengalihan kepemilikan IUP/saham yang menyalahi aturan perundang-udangan.

Disampaikan, royalti dan CSR dari PT. SMR juga tidak jelas sehingga tidak berdampak pada ekonomi, baik pada pemerintah daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) maupun masyarakat lingkar tambang.

Ia menambahkan, persoalan-persoalan tersebut semuanya diduga melanggar aturan perundang-undangan. Berdasarkan pelanggaran tersebut, masyarakat dan gereja memutuskan agar perusahaan harus ditutup dan menuntut Gubernur NTT segera mencabut IUPnya.

Sebelumnya Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Pendeta Merry Kolimon menegaskan pemerintah pusat melalui Gubernur NTT segera mencabut izin tambang di Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS. Alasannya, aktivitas tambang yang dikelola PT. Soe Makmur Resources (SMR) itu tidak membawa keuntungan bagi perekonomian masyarakat Desa Supul maupun pemerintah daerah Kabupaten TTS.

PT. SMR mendapat izin tambang atas lahan seluas 4.550 hektar yang berada di sejumlah lokasi, termasuk di antaranya 600 hektar berada di kawasan kehutanan. Perusahaan tambang yang sudah beroperasi sejak 2008 silam itu merupakan satu-satunya perusahaan yang mengantongi izin untuk melakukan penambangan mangan.

Selama dua tahun terakhir PT. SMR berhasil menambang 1.134 ton mangan dari lahan di kawasan Desa Supul Kabupaten TTS.  Penambangan mangan dilakukan secara terbuka sehingga menciptakan perubahan kontur dan landskap lahan, termasuk menyebabkan pendangkalan sejumlah anak sungai sehingga berpotensi menimbulkan banjir bandang.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home