Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta 07:37 WIB | Kamis, 18 Juli 2013

Haidar Nashir: Pemaksaan Ideologi Mengancam Integrasi Bangsa.

Haidar Nashir: Pemaksaan Ideologi Mengancam Integrasi Bangsa.
Haidar Nashir seusai memberikan penjelasan tentang buku yang ditulisnya, Rabu (17/7). (Foto-foto: Prasasta).
Haidar Nashir: Pemaksaan Ideologi Mengancam Integrasi Bangsa.
Haidar Nashir dan Busyro Muqqodas.
Haidar Nashir: Pemaksaan Ideologi Mengancam Integrasi Bangsa.
Andityas Praba (dari Penerbit Mizan), Fajar Izalul Haq (Direktur Ma\'arif Institute), dan Haidar Nashir.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat  Indonesia saat ini dituntut waspada kepada kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu dan berkeinginan kuat membangun ideologi syariat tanpa melihat pluralitas bangsa. Kelompok tersebut tidak akan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi kemajemukan Indonesia.

Hal ini dikatakan Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, M.Si, pada peluncuran buku Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, yang berlangsung di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya, Jakarta, Rabu (17/7).

“Bagi bangsa ini, kelompok-kelompok yang menganut penerapan ideologi syariat secara ketat yang ada dalam buku ini terlihat bahwa mereka menegakkan syariat tetapi kehilangan substansi, dan daya lenturnya. Sebab, kelompok-kelompok penegak syariat yang terwujud dalam beberapa ormas radikal malah tidak memberikan efek nyaman bagi bangsa Indonesia,” ujar Haedar Nashir.

Dr. Haedar Nashir merupakan penulis buku Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia yang diterbitkan Mizan bekerjasama dengan Ma’arif Institute.

Haedar Nashir menjelaskan tentang alasannya menulis buku tersebut, terlebih lagi ia menandaskan bahwa kelompok-kelompok yang tergolong fanatik terhadap penerapan syariat berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa.

“Buku ini tidak untuk mendikotomikan antara Islam yang benar dan salah, tetapi untuk menyajikan kategorisasi dari pemikiran-pemikiran syariat yang berorientasi pada ancaman disintegrasi bangsa, terutama setelah reformasi. Pada buku ini saya memetakan apa yang disebut dengan syariat, namun mereka yang memeluk ideologi penerapan syariat secara ketat malah masih terkotak-kotak lagi,” lanjut Haedar.

Menurut Haedar, banyak kebijakan yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah bernuansa syariah yang mengandung unsur diskriminatif bahkan mendorong kekerasan di wilayah publik.

“Bisa kita bayangkan apabila penerapan syariat benar-benar terjadi, maka kelompok-kelompok tersebut hanya akan memperhatikan dari aspek hukum, maka nanti akan banyak polisi Syariat. Di Aceh mereka mengurusi waktu sholat dengan tertib, atau mencari wanita yang tidak mengenakan jilbab di tempat umum. Tetapi penegakan hukum ini akan dipandang oleh bangsa lain sebagai sebuah bentuk kekerasan,” ujar Nashir.

Nashir mengkategorikan pemaksaan seperti itu merupakan bentuk kekerasan, karena tidak adanya perbaikan akhlak di dalamnya. “Mengapa saya katakan kekerasan? Karena sistem penerapan syariah yang seperti itu tidak menegakkan akhlak dan perbaikan kepada masing-masing individu untuk bengubah perilaku dari kesadaran diri masing-masing,“ kata Nashir. 

Pihaknya mencatat bahwa tidak kurang dari 151 Peraturan Daerah Syariah yang terbit dalam kurun waktu 1999 hingga 2009. Apabila dihitung hingga tahun ini kemungkinan akan membengkak jumlahnya.

Maarif Institute dalam keterangan rilisnya mengatakan bahwa gerakan-gerakan ormas tertentu yang membawa panji-panji penegakkan Syariat Islam patut diwaspadai, karena gerakan tersebut membawa semangat anti-nasionalisme dan anti-demokrasi, dan bertentangan dengan Pancasila.

Maarif Institute  menyebut gerakan dengan ideologi tersebut bagaikan hypocracy in democracy, atau kemunafikan terhadap demokrasi. Pada momen tertentu mereka secara tegas mengharamkan sistem demokrasi, tetapi mereka menikmati kehidupan di alam demokrasi.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home