Loading...
HAM
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 17:54 WIB | Sabtu, 10 Desember 2016

Hari HAM Dunia Sarana Ingatkan Jokowi akan Nawacita

Hendardi dari Setara Institute (tengah) memberikan keterangan terkait dengan proses hukum terhadap kasus Ahok atas dugaan penistaan agama yang dinilai tidak fair secara yuridis karena menggunakan pasal yang invalid. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hari ini, tanggal 10 Desember 2016, dunia internasional merayakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dalam konteks nasional, Ketua Setara, Hendardi, memandang momentum ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengingatkan pemerintah selaku pemegang kewajiban (duty bearer) untuk menghormati, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia di Indonesia.

“Selama dua tahun memimpin, janji-janji dalam Nawacita terkait hak asasi manusia belum satu pun dijalankan oleh Presiden Jokowi. Ada banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terkait HAM,” kata Hendardi dalam siaran pers, di Jakarta, hari Sabtu (10/12).

Ia menyatakan pada forum internasional terbaru di Bali Democracy Forum misalnya, Jokowi membanggakan kemampuan negara mengelola kemajemukan, akan tetapi fakta lapangan menunjukkan sebaliknya, yakni bahwa pemerintah abai memajukan perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan dan diintegrasikan dalam proses pembangunan negara. Janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga tidak pernah memperoleh perhatian dari Jokowi, meski eksplisit disebutkan dalam Nawacita,” katanya.

Bahkan, lanjut dia, ketika berbagai elemen mendorong penuntasan kasus 65 misalnya, Jokowi justru membiarkan kampanye negatif tentang kebangkitan PKI, yang sesungguhnya merupakan instrumen penundukkan untuk menggagalkan pemenuhan kewajiban negara mengungkap, mengadili, dan memulihkan korban pelanggaran, pada kasus 65 dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

“Pemerintah pusat justru miskin inisiatif dibanding dengan sejumlah kepala daerah yang visioner meniti jalan keadilan melalui prakarsa di tingkat lokal untuk memajukan hak asasi manusia. Dalam bidang legislasi, pemerintah pun sama sikapnya. Giat melakukan deregulasi ekonomi tetapi pada saat yang bersamaan abai memastikan produk legislasi yang potensial merampas hak asasi manusia,” ujar Hendardi.

Ia mencontohkan, dalam revisi UU ITE misalnya, justru menjadikan warga rentan dikriminalisasi dan mengancam kebebasan berekspresi. Revisi UU Terorisme yang berencana mengakomodasi TNI sebagai aktor yang akan menangani penegakan hukum, juga rentan pelanggaran HAM. Sementara, TNI dibiarkan menikmati privilege (keistimewaan) tidak diadili pada peradilan umum, meski anggota TNI melakukan tindak pidana umum.

“Ini bentuk pelembagaan pelanggaran asas hak kesamaan di muka hukum (equality before the law). Padahal, janji merevisi UU Peradilan Militer juga tercantum dalam Nawacita,” katanya.

Hendardi mengungkapkan, di tengah absennya pemerintah dalam pemajuan HAM, komisi-komisi HAM justru mengalami delegitimasi dari publik sebagai instrumen pemajuan HAM. Komnas HAM misalnya, selain gagal menjalankan Paris Principles, suatu prinsip pengelolaan lembaga HAM di setiap negara, yang diindikasikan dengan kegagalan mengelola akuntabilitas keuangan, juga terjebak pada agenda rutin yang hanya berujung pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan seremonial tanpa memberikan dampak yang presisi pada pemajuan HAM. Sedangkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) justru semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektif dan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia.

“Populisme yang dipupuk melalui liputan media menjadi orientasi kerja KPAI, meski harus melakukan reviktimisasi pada anak yang menjadi korban. Hanya Komnas Perempuan, yang dengan keterbatasan mandatnya, masih tetap menjadi instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuan hak-hak perempuan. Sejumlah terobosan dan intervensi legislasi yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fokus yang efektif bagi Komnas Perempuan,” tuturnya.

Secara umum, Hendardi menilai pemerintahan Jokowi tidak memiliki belied yang jelas tentang agenda hak asasi manusia dan belum menunjukkan keberpihakan politik pada pengungkapan kasus masa lalu, penanganan kasus masa kini, dan politik legislasi yang kondusif untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa yang akan datang.

“Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang diklaim sebagai acuan pembangunan bidang HAM hanyalah dokumen perencanaan sebagai dasar untuk memperoleh anggaran tanpa mampu melimpahkan keadilan bagi warga. Apalagi dengan aneka kegiatan seremonial rutin yang tidak berdampak nyata,” ucap Hendardi.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home