Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 19:58 WIB | Minggu, 08 Maret 2015

Hari Perempuan Internasional, Parpol Abaikan Kaum Hawa

Anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Seluruh negara di belahan dunia tengah memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial.

Namun pandangan miring diisampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini menanggapi Hari Perempuan Internasional ke-58 ini.

Dia menilai partai politik (parpol) di Indonesia masih mengesampingkan keterlibatan perempuan di ranah perpolitikan di Indonesia, terutama untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).

Titi menjelaskan berdasarkan hasil penetapan perolehan kursi dan calon terpilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan KPU No. 416/Kpts/KPU/Tahun 2014 pada 14 Mei 2014, tercatat 97 calon anggota legislatif (caleg) perempuan terpilih dari total 560 kursi DPR yang tersedia.

Dalam persentase, berarti ada 17,32 persen caleg perempuan terpilih melalui Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu yang merupakan angka tersebut mengalami penurunan dibanding Pemilu 2009 yang berhasil mengantarkan 103 caleg perempuan terpilih ke DPR atau sejumlah 18,39 persen.

"Tidak banyak upaya serius dan berarti yang dilakukan parpol untuk mengawal dan juga memastikan keterpilihan caleg perempuannya sampai ke parlemen," kata Titi kepada satuharapan.com Minggu (8/3).

Menurut dia, pencalonan dengan prasyarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen bisa dikatakan berhenti sampai pemenuhan formalitas batas pencalonan saja. Bahkan, kata Titi, riset Perludem 2014 menyimpulkan salah satu penyebabnya adalah di tingkat kabupaten/kota, parpol sesungguhnya sulit memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut karena mereka tidak memiliki kader perempuan yang mencukupi.

"Akibatnya, demi memenuhi kekurangan kader perempuan tersebut, parpol mencomot perempuan dari mana saja untuk dijadikan calon demi tercapainya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan," tutur Direktur Eksekutif Perludem itu.

Lebih lanjut, dia mengatakan, penguatan kapasitas dan juga membangun strategi terhadap caleg-caleg perempuan lebih banyak dilakukan oleh gerakan di luar parpol ketimbang oleh internal parpol itu sendiri. Ini yang ditunjukkan misalnya oleh Puskapol UI, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan, UNDP, Kemitraan, dan banyak organisasi lainnya.

"Jika ditimbang-timbang, apa yang dikerjakan organisasi di luar partai, akhirnya jauh lebih besar bobot dan intensitasnya ketimbang ikhtiar partai pengusung untuk para kader perempuannya," ujar dia.

Selain itu, menurut Titi, maraknya praktik politik transaksional turut menjadi hambatan tersendiri bagi caleg perempuan. Padahal, banyak caleg perempuan potensial namun tidak didukung dana maksimal harus berhadapan dengan caleg lain yang didukung modal kuat dan struktur politik yang tangguh di internal partai.

Sementara caleg perempuan identik dan selalu ditekankan untuk melakukan politik bersih, antipolitik uang, nontraksaksional, dan anticurang.

"Ini kemudian yang menjadi paradok di lapangan saat uang menjadi jalan pintas untuk menang yang dibuktikan dengan maraknya kasus jual beli suara maupun suap menyuap baik pada pemilih, sesama caleg maupun penyelenggara," kata dia.

Titi menegaskan, beberapa faktor tersebut hanyalah sedikit saja dari penyebab belum maksimalnya keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam ranah politik di Indonesia.

"Intervensi pasal dan pasar yang belum mampu berkontribusi optimal bagi kiprah perempuan di bidang politik menyisakan pekerjaan rumah besar bagi banyak pihak," kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home