Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 19:08 WIB | Senin, 23 Desember 2013

Hidup Matinya Seni Budaya Wayang

Pertunjukan Wayang Kulit Ki Manteb Sudharsono. (Foto dari Wikipedia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hidup matinya sebuah seni bukan tergantung pada pelaku seni, tetapi tergantung pada masyarakat. Kelayakan dan relevansi tidaknya untuk dinikmati merupakan kunci. Dalang Wayang Hip Hop Catur Benyek Kuncoro mengatakan pendapatnya tersebut pada satuharapan.com tentang tantangan wayang dalam kekinian setelah mementaskan lakon ‘Endog Jagad’di Galeri Indonesia Kaya Jakarta pada Minggu (9/12).

“Menurutku hidup matinya sebuah seni bukan tergantung pada pelakunya, tetapi tergantung pada masyarakat. Ini masih layak, relevan, tidak untuk dinikmati? Seperti itu.”  Kata Catur Benyek Kuncoro.

Pentingnya terobosan diperlukan sehingga seni budaya Wayang menjadi relevan di zamannya. Masyarakat pun perlu dilibatkan dalam prosesnya.

“Saya dulu pernah workshop di salah satu SD di Jogja. Saya menceritakan tokoh Gatotkaca ini sangat sakti sekali. Dia bisa terbang, mereka interest dengan ceritanya. Tetapi ketika aku perlihatkan tokohnya mereka bilang lho koq jelek.”

Lanjut dalang asal Yogyakarta itu, “Ketika wayangnya belum dilihat, mereka mendengar ceritanya senang sekali. Ketika sudah melihat tokohnya, lho koq jelek secara visual anak zaman sekarang. Karena mereka tidak tahu proses yang terjadi pada wayang tradisi.”

Kondisi kini banyak sekali regenerasi dalang anak, pementasan dalang anak, festival dalang anak yang digalakkan pemerintah, tetapi proses pewayangan ini tidak melibatkan masyarakat dan anak sebagai audiens.

Catur Benyek dalam pertunjukannya menggarap Wayang kulit yang dikawinkan dengan Hip Hop di bawah bendera ‘Wayang Hip Hop’. Ini merupakan upaya lebih mendekatkan kesenian tradisi mengena ke anak-anak muda. Trend Hip Hop di anak-anak muda menjadi peluang memperkenalkan budaya Wayang dengan lebih modern.

Salah Siapa Ketika Wayang Terasa Asing?

Berbeda dengan Nanang Hape. Dia dengan kawan-kawannya di Wayang Urban memadukan disiplin pertunjukan wayang kulit, musik, dan teater dalam durasi yang lentur. Pertunjukan wayangnya dirancang untuk masyarakat modern yang tidak mampu begadang semalam suntuk, tidak mampu mengapresiasi bahasa Jawa pedalangan, terbiasa dengan pertunjukan yang sudah dikemas secara padat, dan lain-lain.

Nanang Hape berkomentar dalam sebuah pertunjukan di depan publik, “Bukan salah yang muda-muda tidak pernah diwarisi bagaimana mengapresiasi kesenian tradisi. Kalau anak muda berjarak dengan kesenian saya kira itu sudah salah bersama.”

Nanang Hape tidak menyalahkan anak muda, juga tidak orang tua. Karena para orang tua waktunya sudah tergerus habis mencari nafkah sehingga tidak sempat mengenalkan wayang kepada anak-anaknya. Kecintaan pada seni budaya Wayang justru baru datang ketika seseorang sudah kaya dan tidak lagi sibuk mencari nafkah.

Pelukis Wayang asal Yogyakarta, Agus Nuryanto, bercerita bahwa dengan Wayang dia bisa berbicara banyak hal. Baik itu konsep sosial, konsep relijius, maupun kehidupan wayang itu sendiri. Banyak hal bisa dieksplor dari wayang dengan lebih bebas.

Agus Nuryanto sudah sejak tahun 1995 sampai sekarang terus berkonsentrasi dengan wayang dalam pelbagai karya seni rupanya. Lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta  ini mengaku sebagai pendengar setia siaran wayang di radio. Dia sangat menyukai kisah Dewa Ruci yang menceritakan sosok Bima mencari jati diri. Dia sudah kerap melakukan pameran lukisan bertema wayang. Baginya, melukis wayang merupakan sebuah penyadaran.

“Ini memang sebuah tantangan untuk bagaimana wayang ini menjadi kesadaran untuk bisa mengerti. Saya harus bisa bercerita apa yang saya lakukan. Ini sebuah penyadaran pada masyarakat bagaimana wayang bisa dikenal. Karena selama ini wayang tidak pernah dikenal.“

Mengingat tidak banyak orang mengenal lagi wayang maka Agus Nuryanto saat pameran selalu setia menjaga pameran lukisan. Dia berharap melalui lukisan dan pameran lukisannya dapat mengenalkan wayang kepada para pengunjung.

“Makanya saya selalu bertanya kepada penonton, ada yang bisa dibantu?” kata Agus Nuryanto.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home