Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 17:12 WIB | Jumat, 15 Juli 2016

Hilangnya Pengacara Tunjukkan RRT Tidak Dukung Kebebasan Beragama

Ilustrasi: Li Heping (kiri), saat bertemu Terrence Halliday (kanan). (Foto: christianpost.com).

SATUHARAPAN.COM – Kebebasan beragama adalah hak yang diperoleh setiap warga negara yang tercantum dalam undang-undang baik secara nasional maupun internasional, hak ini harus mendapat pengawalan dari pemerintah. Namun hal tersebut tidak berlaku di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sejak lama menunjukkan tidak mendukung kebebasan beragama.

Menurut guru besar American Bar Foundation, Terrence Halliday, dalam opini yang dia tulis di Christian Post hari Rabu (13/7), contoh konkret pengekangan kebebasan dan hak asasi yakni kasus hilangnya Li Heping – seorang pengacara yang diduga ditangkap kediamannya pada 2015 di Beijing, RRT – secara misterius. 

Menurut Halliday, Heping sejak lama berpengalaman membela berbagai jenis kasus seperti penyerobotan tanah, kasus kebebasan beragama, termasuk membela pengikut Falun Gong.

Saat ini kecemasan tetap ada di istri dan anaknya yang setiap hari dengan cemas menunggu keberadaan Heping, menurut Halliday – yang beberapa kali bertemu dengan anak dan istri Heping – saat ini ada kemungkinan Heping mengalami penyiksaan psikologis bahkan fisik.

Heping berasal dari keluarga yang berkemampuan ekonomi lemah, di Provinsi Henan, Tiongkok. Meski demikian, dia belajar bersungguh-sungguh di bidang hukum, sebelum akhirnya  memulai karir di bidang hukum  pada tahun 1997 sebagai tim kuasa hukum sebuah perusahaan.

Setelah tidak menjadi pengacara di sebuah perusahaan, dia pindah ke Beijing dan membangun firma hukum yang mengurusi banyak perkara yang berskala global.

Menurut Halliday, Heping juga dikenal sebagai pengacara yang kritis karena dia mengkritisi sistem penyiksaan yang terdapat di peradilan Tiongkok.

“Heping berusaha melawan tentang penyiksaan tersebut dengan menggelar berbagai lokakarya tentang lembaga pemasyarakatan yang ada di bawah standar keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa, Red) tentang penyiksaan tersebut,” kata Halliday.   

Halliday menyebut tidak hanya dengan Heping saja namun berbagai pengacara dari berbagai kota juga menerima nasib serupa.  

Halliday mengatakan  dia pernah terkejut mendengar pendapat dari seniman Tiongkok, Ai Weiwei tentang agama. Halliday terkejut karena Weiwei mengatakan Tiongkok adalah negara yang mengalami ketakutan dengan tumbuhnya agama, dan pemerintah Tiongkok bertindak seperti polisi yang selalu mencari pengikut atau bangunan tempat ibadah baru.

“Saya kasihan umat yang akan beribadah, mereka rasanya seperti budak,” kata Halliday menirukan ucapan Weiwei.

Halliday menilai Heping adalah sosok  Kristen yang taat beribadah dan selalu mengamalkan nilai-nilai dalam Alkitab pada kehidupan sehari-hari.    

Halliday menceritakan saat dia bertemu dengan Heping, pengacara berusia 46 tahun tersebut memilih membela orang-orang kecil karena terinspirasi kisah Daud yang menerima teguran dari Natan saat Daud mengambil kebun anggur kecil dari orang miskin dan menambahkannya ke kekayaannya yang luas.

“Seperti Martin Luther King (tokoh reformasi kulit hitam Amerika Serikat, Red), ia (Heping, Red) menegaskan semangat panggilan Alkitab untuk mencintai kesetiaan, melakukan keadilan,” kata Halliday.

Dalam pandangan Heping, dia selalu berpendapat setiap orang dalam sebuah negara memiliki hak-hak yang sama, karena sejak lahir dalam pandangan Heping setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, dan berhak memiliki martabat dan hak-hak yang harus dilindungi, termasuk hak beribadah.  

Halliday mengingat kembali semangat Heping yang membela orang-orang tertindas, Heping – menurut pengakuan Halliday – selalu bersemangat karena terinsipirasi dari perikop Alkitab, 2 Samuel 12:1 – 13:39 tentang Natan yang menegur Daud yang mengambil anggur dari lahan orang miskin.

“Dia pernah berkata orang Kristen harus mampu mengampuni bahkan kepada yang telah  menganiaya mereka,” kata Halliday.

Halliday mengingat kembali perkataan Heping bahwa semua orang di Tiongkok harus merasa bebas saat beribadah, dan negara tidak boleh mencampuri urusan dalam gereja.

Selain melakukan penangkapan dan pengekangan terhadap aktivitas Kristen, seperti diberitakan CBS News beberapa waktu lalu pemerintah Tiongkok juga melakukan tindakan kekerasan terhadap tempat ibadah yakni dengan melakukan pencopotan salib di atas gedung gereja.

Selain itu, pada Februari 2016 seorang pendeta dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, karena melakukan kejahatan keuangan dan mengumpulkan jemaat secara ilegal sehingga dianggap mengganggu ketertiban sosial.

Semakin banyak kekerasan yang melanda orang-orang yang membela Kristen, semakin banyak pengacara yang melakukan pendampingan terhadap umat Kristen yang mengalami kekerasan oleh negara.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home