Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 19:26 WIB | Jumat, 15 Juli 2016

Kasus Penembakan Dallas, Survei: Evangelikal Paling Rasis

Pendeta berteriak, "Kami mengangkat tangan, jangan menembak," saat mereka berbaris ke kantor County Jaksa Bob McCulloch untuk memprotes kematian remaja hitam Michael Brown akibat ditembak polisi di Clayton, Missouri, 20 Agustus 2014. (Foto: Reuters/Adrees Latif)

SATUHARAPAN.COM – Hanya 53 persen orang Amerika Serikat yang setuju bahwa polisi tidak adil karena menargetkan orang-orang kulit berwarna dan kelompok minoritas AS lainnya. Survei dilakukan tahun ini sebelum penembakan pekan lalu atas dua orang kulit hitam oleh polisi dan pembunuhan berikutnya terhadap lima polisi Dallas.

Institusi riset terkemuka The Barna Group mengatakan pada Kamis (14/7) bahwa penembakan pekan lalu ini telah menghidupkan kembali perdebatan tentang kebrutalan polisi dan ketegangan rasial di AS.

“Sebagai sebuah perusahaan riset, salah satu fungsi utama Barna adalah untuk memberikan data yang andal yang memperlengkapi pemimpin untuk menggambarkan secara akurat dan menafsirkan tren budaya,” menurut catatan institusi itu.

Pada April 2016, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar terkait dengan nilai-nilai sosial, tim Barna mengumpulkan data opini publik tentang persepsi kebrutalan polisi.

Barna menemukan bahwa lebih dari setengah dari semua orang dewasa (53 persen) setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa polisi tidak adil menargetkan orang-orang kulit berwarna dan kelompok minoritas AS lain.

Pada saat yang sama empat dari sepuluh responden tidak setuju atau sangat tidak setuju. Sedangkan, tujuh persen mengakui mereka tidak yakin.

Dalam survei nasional warga dewasa AS, responden ditanya dua pertanyaan berkaitan dengan subjek kebrutalan polisi.

Pertanyaan pertama mengukur seberapa kuat orang dewasa AS setuju atau tidak setuju dengan pernyataan berikut: “Polisi tidak adil menargetkan orang-orang kulit berwarna dan kelompok minoritas lainnya.”

Mayoritas tipis orang AS setuju bahwa polisi tidak adil menargetkan orang-orang kulit berwarna dan kelompok minoritas lainnya. Lebih dari setengah dari semua orang dewasa (53 persen) setuju atau sangat setuju dengan pernyataan itu.

Pertanyaan kedua melihat secara khusus pada pengalaman pribadi, meminta responden apakah mereka hidup dalam ketakutan karena kebrutalan polisi.

Sebagian besar (78 persen) mengatakan mereka mungkin tidak hidup atau pasti tidak hidup dalam ketakutan terkait dengan kebrutalan polisi, sementara lebih dari satu dari lima orang AS mengatakan mereka benar-benar takut (tujuh persen) atau mungkin takut (15 persen).

Berdasar penelitian lebih mendalam untuk kedua pertanyaan, Barna menemukan ada perbedaan di antara generasi, etnis, dan agama.

Ketika dibagi berdasarkan kepercayaan, kelompok evangelikal bepijak pada norma-norma nasional. Secara keseluruhan, hanya 29 persen dari kaum evangelikal percaya polisi tidak adil menargetkan orang-orang berkulit berwarna.

Semua segmen agama lain di AS bersikap kontras dengan ini. Setengah atau lebih percaya kondisi ini menjadi kasus, termasuk kelompok Kristen non-evangelikal lahir baru—kelompok Kristen yang berdedikasi ulang—(49 persen), Kristen abangan (50 persen), penganut agama lain (59 persen), dan mereka yang ateis dan agnostik (67 persen).

Ketika terkait dengan praktik iman, orang Kristen yang setia ke gereja dan yang belum bergereja (48 persen dan 54 persen) percaya polisi tidak adil menargetkan minoritas.

Secara keseluruhan, sekitar 12 persen kelompok evangelikal mengatakan bahwa mereka secara pribadi merasa terancam oleh polisi.

Ketika melongok persepsi antara warga kulit putih Kristen lahir baru versus non-putih Kristen lahir baru terlihat perbedaan yang mencolok.

Hanya seperempat dari orang dewasa kulit putih lahir baru (24 persen) percaya polisi tidak adil dengan menargetkan orang-orang kulit berwarna, dibandingkan dengan 82 persen non-kulit putih dewasa lahir baru.

Hasil yang sama diperoleh ketika terkait dengan pengalaman hidup dalam ketakutan akibat kebrutalan polisi (lima persen kulit putih lahir baru dibandingkan dengan 34 persen dari non-putih lahir baru).

“Temuan ini merupakan realitas yang menantang untuk kelompok evangelikal dan pemimpin mereka,” kata David Kinnaman, Presiden Barna dan Direktur Penelitian.

“Kesenjangan besar terdapat di antara kelompok evangelikal AS—sekitar puluhan juta orang. Yaitu, kesenjangan persepsi tentang sejauh dan sedekat apa penegakan hukum merugikan.

“Tingkat perbedaan pendapat membantu menjelaskan mengapa orang dari berbagai negara bagian merasakan urgensi tentang masalah ini.

“Untuk membantu kaum evangelikal untuk bergulat dengan masalah bias rasial implisit, pemimpin Kristen harus menyadari seberapa dalam dan pribadi mereka mengalami masalah ini di begitu banyak masyarakat dan gereja.” (Ecumenical News)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home