Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 09:21 WIB | Selasa, 09 Agustus 2016

HUT ke-71 Kemerdekaan: Merespons Pengelompokan Identitas yang Mengemuka

Pdt Dr Albertus Patty. (Foto: Dok satuharapan.com/Facebook/Pey Ruari Sitorus)

Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Ketua PGI Pdt Dr Albertus Patty (bagian II-selesai).

SATUHARAPAN.COM – Di balik kenyataan bahwa kebijakan politik sektarian masih sering muncul di negara ini, adalah merupakan berkat tersendiri bahwa menginjak 71 tahun merdeka ini Indonesia menunjukkan semangat persatuan dan kebinekaan menurut pandangan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Dr Albertus Patty.

“Bila membandingkan dengan negara lain yang mengalami perpecahan dan menjadi negara yang berbeda, seharusnya menjadi faktor pendorong untuk merawat keanekaragaman di Indonesia. Salah satunya yakni keragaman yang majemuk di Indonesia,” kata Pdt Berty, panggilan akrabnya, sambil memberi contoh Uni Soviet yang mengalami keruntuhan saat memasuki usia ke-70, juga Yugoslavia, dan kini Sudan yang terpecah belah menjadi Sudan dan Sudan Selatan.

“Kita bersyukur kehidupan keagamaan dan relasi antarumat beragama di Indonesia relatif lebih baik dibanding negara-negara lain seperti di Malaysia, Filipina, Thailand, Burma, Turki, atau di negara-negara Arab lainnya. Meskipun demikian, bukan berarti keadaan sudah cukup aman. Masih banyak peristiwa di mana terjadi anarkisme atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu,” kata penulis buku Melintas Batas, yang menyingkap pengalamannya saat menggumuli pluralisme itu, melalui surat elektronik, Minggu (7/8).

Perkembangan Kebebasan Beragama di Indonesia

Pdt Berty mengemukakan, kebebasan beragama sebetulnya di Indonesia sudah ada sejak lama, dan  penanganan masalah ini tentunya berbeda karena Indonesia melewati kurun waktu sejarah yang berbeda.

Sejak era pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asyari hingga Partai Katolik Indonesia, dengan tokohnya, Ignatius Joseph (IJ) Kasimo, kala itu berhadapan dengan situasi awal kemerdekaan. Saat itu  bangsa Indonesia, menurut pengamatan Pdt Berty,  berhasil meletakkan dasar konstitusional yang bisa mengakui realitas sekaligus merangkul keanekaragaman bangsa. Sementara itu, tokoh militer dan gereja Indonesia, Tahi Bonar (TB) Simatupang, selain ikut berjuang dalam masa kemerdekaan, juga memberikan landasan kokoh pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila pada era pemerintahan Orde Baru yang sangat dominan. 

Masalah yang dominan dalam penanganan kebebasan beragama dewasa ini, menurut dia, yakni masyarakat Indonesia diperhadapkan dalam situasi di mana era globalisasi terdapat pengelompokan identitas dalam pergaulan yang berdasar kepada kepercayaan tertentu.

Dia menilai situasi politik internasional, terutama Timur Tengah, turut andil dalam hubungan antaragama di Indonesia, karena di kawasan tersebut kelompok berpaham radikal semakin kuat dan mengglobal.

“Fundamentalisme dan radikalisme agama ini muncul sebagai reaksi terhadap modernitas. Fundamentalisme, dan radikalisme, juga merupakan reaksi akibat pengalaman ketidakadilan ekonomi dan politik akibat imperialisme gaya baru melalui praktik kapitalisme modern yang cenderung mengeksploitasi sesama dan alam raya demi keuntungan materi,” dia menambahkan.

Menurut dia, tokoh-tokoh kepercayaan dan umat beragama di Indonesia harus merespons situasi tersebut bersama-sama, dan memiliki strategi yang kreatif, kritis, dan positif. “Peranan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sangat penting dalam membangun sinergi dengan semua umat beragama, terutama juga dalam pengakuan terhadap agama-agama yang selama ini tidak diakui,” kata dia.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home