Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 16:50 WIB | Kamis, 30 Januari 2014

ICJR: Pasal Penghinaan di Rancangan KUHP Cederai HAM

(Ilustrasi dari: grandparents.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ubahnya salinan resmi KUHP. Kebebasan berekspresi yang merupakan hak asasi yang dilindungi dan dijamin konstitusi, mencakup pula dengan perlindungan reputasi dan kehormatannya dilanggar melalui keberadaan bab Penghinaan di Rancangan KUHP. Juru Bicara Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyampaikannya dalam siaran pers di Jakarta pada Rabu (29/1).

“Tidak ada pengaturan yang berubah dalam bab penghinaan. Duplikasi instan ini ternyata juga terjadi terhadap pengaturan penghinaan lain dalam Rancangan KUHP, khususnya penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pemerintahan yang sah, Lembaga negara dan Kekuasaan Umum,” kata Erasmus AT Napitupulu.

Besarnya dampak pengaturan pasal-pasal proteksi negara ini mengesampingkan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia sebagai agenda penting Rancangan KUHP. Sebelumnya, pasal-pasal dalam bab penghinaan Rancangan KUHP telah digugurkan Mahkamah Konstitusi,

Kemunculannya kembali tidak hanya mencederai semangat pembaruan hukum pidana di Indonesia, tetapi juga tidak relevan dan kontekstual lagi dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern.

Sebagai negara yang mengedepankan demokrasi dan penjaminan akan perlindungan hak asasi manusia, maka sudah tepat untuk melakukan depenalisasi terhadap tindak pidana penghinaan. Rancangan KUHP sudah relevan untuk menggunakan dan meraba penggunaan pidana kerja sosial serta mendorong penyelesaian kasus penghinaan ke jalur perdata.

Menurut Erasmus AT Napitupulu, “Pengesampingan pidana penjara merupakan terobosan pembaharuan hukum pidana melihat dari karekteristik delik penghinaan. Khusus untuk tindak pidana penghinaan yang dibingkai dalam kejahatan yang melindungi kepentingan negara harus dihilangkan atau didekriminalisasi.”

Pasal penghinaan selama ini telah menjadi alat efektif untuk melindungi kepentingan pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik. Data menunjukkan bahwa merekalah pemegang posisi teratas korban penghinaan dengan mayoritas pelaku adalah masyarakat biasa.

Riset putusan pengadilan untuk perkara pidana penghinaan yang dilakukan ICJR pada 2012 menyebutkan masyarakat biasa menempati porsi tertinggi sebagai pelaku penghinaan dengan 160 kasus dari 171 putusan dalam penuntutan pidana penghinaan. Sementara korban penghinaan terbesar ditempati pejabat publik atau orang-orang yang bekerja di sektor publik, yaitu 63 kasus. Data ini menunjukkan bahwa hukum pidana penghinaan secara efektif digunakan untuk melindungi kepentingan pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik.

Secara statistik, semua ancaman pidana penjara penghinaan dalam Rancangan KUHP mengalami peningkatan. Hanya saja, nampaknya pembuat Rancangan KUHP tidak berkaca pada tren putusan oleh Pengadilan terkait pidana penjara pasal-pasal penghinaan. ICJR mencatat bahwa pada 2012, rata-rata hukuman penjara yang dituntut Jaksa adalah 154 hari atau 5 bulan penjara dan hukuman penjara yang kemudian dijatuhkan Pengadilan berkisar antara 108 hingga 112 hari atau 3 bulan hingga 4 bulan penjara. Pola ini secara tegas menjawab bahwa tingginya ancaman hukuman dalam Rancangan KUHP kurang  berdasar dapat menjawab kebijakan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersebut.

Selain pola dan tren dari putusan pengadilan yang menunjukkan ukuran minimum penjatuhan pidana, data lain yang tidak kalah menarik adalah alur koreksi putusan dari Pengadilan Negeri (PN) ke Mahkamah Agung (MA). Hal ini menunjukkan fakta bahwa penggunaan pidana penjara mengalami penurunan signifikan. Pada 2012 dengan 205 kasus yang dituntut penjara, Rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan PN adalah 154 hari penjara, angka ini kemudian dikoreksi menjadi 112 hari penjara di MA. Namun, yang menjadi catatan penting adalah dari 205 tuntutan pidana penjara yang dilakukan di Pengadilan, PN memutus bersalah 126 tuntutan diantaranya, alur tersebut kemudian berubah menjadi hanya 75 tuntutan yang dikabulkan di tingkat MA.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home