Loading...
INDONESIA
Penulis: Sotyati 13:34 WIB | Sabtu, 27 Desember 2014

Inayah: Perlu Dikembangkan Gerakan Kemimpinan Etis dan Tawadhu

Inayah Wulandari Wahid (kiri) bersama kakaknya, Anita Wahid. (Foto: Dok satuharapan.com/Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Indonesia perlu mengembangkan gerakan kepemimpinan yang bertumpu pada nilai-nilai etis dan kerendahhatian (tawadhu) untuk mengatasi beragam masalah kebangsaan seperti kemiskinan, bencana alam, korupsi, konflik, dan kekerasan. Cita-cita itu harus menjadi gerakan bersama yang dimulai dari para pemimpin, di tingkat lokal hingga nasional.

“Kepemimpinan etis itu ukurannya kepatutan, moralitas umum, dan kemaslahatan bersama, bukan sekadar hukum formal dan pencitraan di media,” Inayah Wahid, putri keempat sekaligus Panitia 5 Tahun Wafatnya KH Abdurrahman Wahid, mengatakan di Jakarta, melalui siaran pers di wahidinstitute.org, belum lama ini.

Kepemimpinan etis dan tawadhu itu sengaja diangkat dalam kegiatan 5 Tahun Wafatnya KH Abdurrahman Wahid.  “Selama ini kita sering disuguhi tontotan tingkah pemimpin, di tingkat nasional maupun daerah, yang memamerkan kemewahan dan tindakan yang bertolak belakang antara perkataan dan perbuatan. Ada pemimpin yang kekayaannya menumpuk di tengah hidup warganya yang menghadapi busung lapar,” Inayah, yang juga Koordinator Positive Movement itu, memberikan alasan.

Jika tujuan dasar pemimpin adalah memenuhi kepentingan umat, Inayah menambahkan, seorang pemimpin harus betul-betul mengerti dan peka terhadap apa yang dirasakan umat yang dipimpinnya. Jika sebagian besar umat masih menghadapi masalah kesulitan ekonomi, kepemimpinan etis tidak akan memamerkan kemewahan dan kekayaan, meski memang sebetulnya memiliki cukup kekayaan.

“Kami sekeluarga berpendapat, tema kepemimpinan etis dan tawadlu ini penting untuk dimunculkan tahun ini karena pergantian kepemimpinan di Indonesia. Ini pengingat bagi para pemimpin agar dalam kepemimpinan mereka tawadlu kepada kepentingan umat. Kepentingan umatlah yang utama. Bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok,” dia menandaskan.

Karena yang dipegang nilai-nilai etis, pemimpin tipe ini tidak akan hanya melihat sebuah masalah dari sisi formalitas hukum. Apalagi hukum di negeri ini mudah dibelokkan. Dengan pegangan nilai-nilai etis itu, kata Inayah, seorang pemimpin akan berani mengambil risiko dan terobosan agar nilai-nilai etis bisa dicapai.

Menurut Inayah, pelajaran itulah yang ia ambil dari sikap dan perjuangan ayahnya yang melakukan beberapa terobosan ketika menjadi presiden. Ia mencontohkan pencabutan larangan perayaan Imlek bagi etnis Tionghoa, mengembalikan nama dari Irian Barat menjadi Papua, meminta pengampunan bagi buruh migran yang dihukum mati, dan menandatangani UU pengadilan HAM. Gus Dur, demikian sapaan akrabnya, selalu mengutip kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan”.

“Dalam mengambil kebijakan, Gus Dur berusaha mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang kelompok. Bahkan ketika kepentingan kelompok berbenturan dengan kepentingan masyarakat, beliau memilih melaksanakan kepentingan masyarakat luas, daripada kelompoknya. Inilah yang kami harapkan dapat diadopsi oleh pemerintahan yang baru ini,” dia menambahkan.

Menurut Inayah, visi kepemimpinan semacam itu bisa menjadi gerakan kuat jika dibarengi upaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Tidak hanya terbatas di pemerintahan dan politik, tapi di semua bidang kehidupan dan mulai dari tingkat paling kecil, termasuk diri pribadi. “Ini sangat strategis jika ditopang lewat pendidikan di berbagai level, formal maupun informal, termasuk pendidikan di dalam keluarga,” katanya. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home