Indonesia untuk Semua Warga
SATUHARAPAN.COM – Dalam tempurung kepala Nancy Fraser dan Linda Gordon, kata “warga” dan “kewarganegaraan” merupakan dua kata bertenaga dan memiliki nilai-nilai luhur yang bakal diterima siapa pun di jagat ini. “Dua kata itu bicara nilai-nilai penghormatan, hak-hak, dan martabat…. Ini kata yang penting, monumental, dan humanis,” ungkap keduanya seperti dikutip ahli kajian multikulturalisme Will Kymlicka dan ahli filsafat etika Wayne Norman dalam Citizenship in Diverse Societies (2003).
Nancy, seorang profesor ilmu politik dan sosial, dan Linda –profesor sejarah dan ilmu humaniora—benar. Lihat saja konstitusi di banyak negara-negara demokratis di seantero dunia. Warga negara adalah tujuan akhir dari segala yang dikerjakan dan dilayani negara. Dalam pelayanan pemerintah, warga negara tak boleh dibedakan lantaran alasan etnis, ras, agama, kelas sosial, orientasi seksual, dan lain-lain. Setiap warga negara punya hak dan kewajiban setara.
Nilai-nilai luhur itu sangat “nyaring” disuarakan Pancasila dan UUD 1945. Jika disarikan, setidaknya ada 40 hak dalam konstitusi kita ini. Dari hak beragama hingga mendapatkan suaka. Dari hak mengenyam pendidikan hingga menghirup kehidupan.
Warga negara begitu dimuliakan. Konstitusi melarang keras praktik diskriminasi atau perlakuan tidak setara. “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu,” begitu bunyi pasal 28I ayat 2 UUD 1945.
Jadi, pemerintah memang diharamkan memberi pelayanan berbeda karena alasan sekat-sekat tadi. Pemerintah tak boleh menganakemaskan mayoritas, menekan minoritas. Yang harus dikedepankan justru kebaikan publik. Dalam bahasa ushul fiqh, ilmu dasar-dasar hukum Islam, kebaikan umum (maslahat al-‘ammah) adalah yang utama dan wajib didahulukan ketimbang kebaikan individu (maslahat al-fadz).
Sayangnya, nilai-nilai mulia ini masih tak mudah diterjemahkan. Tindakan-tindakan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan di Tanah Air acap dijumpai di area yang paling gampang dilihat: layanan publik.
Diskriminasi ini perkara strategis untuk disorot. Ia “gapura” bagi pelanggaran hak-hak warga negara selanjutnya. Dari pembedaan muncul stigma, lalu bisa berujung kekerasan. Dalam banyak kasus pelanggaran hak beragama, hampir dipastikan praktik diskriminasi selalu ditemukan. Saya ingin memberi contoh tiga saja: Tolikara di Papua, Singkil di Aceh, dan Sapto Darmo di Rembang, Jawa Tengah. Di Tolikara, penguasa meminta umat Islam “menghormati” masyarakat yang mayoritas. Umat Islam tak boleh salat di lapangan dan menggunakan pengeras suara. Untuk memperkuat larangan itu, konon ada perda yang mengatur.
Di Singkil, alasan penolakan gereja yang akhirnya memicu pembakaran gereja merujuk kesepakatan tahun 1979 yang lalu diperbarui tahun 2001. Isinya hanya ada sebuah gereja dan empat undung-undung yang boleh berdiri di Singkil. Sementara itu di Rembang perusakan Sanggar Sapto Darmo dipicu alasan tak punya IMB. Pada saat mendirikan, kepala desa tak merestui. Alasannya, sebagian besar masyarakat menolak.
Apa urusannya kasus-kasus itu dengan layanan publik? Dalam tiga kasus tadi, pemerintah jelas berada dalam aktivitas pemberian pelayanan publik. Lihat saja definisinya dalam UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah arena yang dengan mudah kualitas layanan diukur, termasuk dalam pemenuhan hak beragama berkeyakinan. Jika ada kebijakan resmi keluar, bisa dilihat apakah prosesnya dilakukan benar, terbuka, partisipastif, nondiskriminasi dan transparan. Jangan-jangan ada “maladministrasi” seperti diistilahkan UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Jangan-jangan ada tindakan dan pernyataan aparat pemerintah yang melanggar dan diskriminatif.
“Persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif” menjadi asas dalam pelayanan publik sebagaimana diamanatkan UU Pelayanan publik. Kita bisa mendaftar sejumlah UU yang menyorongkan prinsip nondiskriminasi itu. Misalnya, UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan –diperbarui menjadi UU nomor 24 tahun 2013 dengan istilah “hak untuk memperoleh pelayanan yang sama”; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang melarang membuat peraturan yang diskriminatif terkait suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender; UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadikan nondiskriminasi sebagai asas.
Belum lama ini, Puslitbang Kementerian menggelar diskusi kelompok terfokus tentang konsep pelayanan agama di luar yang enam. Bersama dua narasumber lain, mewakili The Wahid Institute saya diminta memberi masukan seputar isu tersebut. Maka gagasan inilah yang juga saya ajukan: pelayanan nondiskriminasi.
Berpegang pada prinsip nondiskriminasi, pemerintah tak boleh membedakan layanan terhadap yang enam dan di luar yang enam, termasuk bagi mereka yang selama ini disebut pemerintah sebagai “penghayat kepercayaan”. Ini amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang uji Materi UU PNPS tahun 1965. UU ini, menurut pertimbangan MK, tidak sedikit pun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia. Semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama. Begitupun bagi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka diakui dan dihormati.
Berpegang pada putusan ini, maka sebetulnya Indonesia tak mengenal lagi istilah “agama resmi” atau “agama yang diakui” seperti di masa Orde Baru. Persoalan apakah itu agama atau bukan berpulang pada penganutnya. Negara hanya berkewajiban menghormati agama, keyakinan, pilihan, dan hak-hak beragama warga negaranya.
Dalam praktik bernegara, tak bisa ditolak bahwa konsep dan kebijakan “agama resmi” melahirkan praktik-praktik diskriminasi. Saya juga masih ingat, dalam pidato tertulis di hadapan peserta Konferensi Tokoh Agama ICRP awal Oktober 2009, Mahfud MD –ketika itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi—pernah menyinggung dan mengungkap soal ini.
Menurut Mahfud, orang atau komunitas di luar agama resmi seperti Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat, selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat yang masuk kategori tidak beragama. Tanpa menyandang label agama resmi, terangnya, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.
Dalam makalah itu, ia juga merujuk kebijakan yang jadi biang kerok penyebutan “agama resmi”. Tidak ada keputusan resmi pemerintah, kata Mahfud, terkait pemberlakuan agama resmi, kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Padahal, Surat Edaran itu seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu. Tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri.
Hingga kini praktik diskriminasi yang diungkap Mahfud MD enam tahu lalu ini masih terjadi. Kita perlu membuat terobosan. Di antaranya menghapus berbagai regulasi diskriminatif seperti UU Adminduk yang masih menyebut istilah “agama yang belum diakui”. Dalam pelayanan pemerintah, terobosan itu bisa dilakukan dengan mengimplementasikan layanan nondiskriminatif. Indeks kepuasan atau standar layanan minimum terkait layanan nondiskriminasi bisa dibuat untuk tujuan ini. Dengan cara itulah kita masih bisa berharap keyakinan Nancy Fraser dan Linda Gordon tentang nilai luhur kata “warga” dan “kewarganegaraan” betul-betul hadir. Tidak sebaliknya, bagai “berharap air merangkak ke tempat tinggi”.
Penulis, peneliti the Wahid Institute Jakarta.
Editor : Trisno S Sutanto
Angkat Kisah Inspiratif dari Kampung Batara di Jawa Timur, S...
Jakarta, satuharapan.com, Perjalanan Spirit of Challenge yang diselenggarakan oleh BPK PENABUR ...