Loading...
ANALISIS
Penulis: Woro Wahyuningtyas 21:21 WIB | Jumat, 08 April 2016

Jurnalisme Yang Mengubah

Refleksi atas film "Spotlight"

Jakarta, Satuharapan.com - Banyak orang menantikan kehadiran film Spotlights, terutama mungkin bagi umat kristiani yang tinggal di Indonesia. Sebuah film berlatar pada kisah nyata. Saya sendiri sangat menantikan film ini, karena selama ini sudah gerah dengan segala macam kebusukan yang ditampilkan dalam wajah yang santun, bahkan kudus.

Berlatar belakang pada sebuah media The Boston Globe, pada tahun 2001 film ini dibuat. Sebagaimana sebuah media bekerja, para jurnalis mendapatkan segala sumber berita, film ini sangat menarik dan menginspirasi jurnalis-jurnalis di Indonesia yang saat ini yang bagi saya sudah jauh dari nilai-nilai dasar dalam jurnalisme.

Dari film ini kita mengetahui, bahwa kejahatan fedofilia tidak bisa lepas dari sistem relasi kuasa. Sialnya, dalam film ini dikisahkan, para pelaku kejahatan ini adalah seorang imam (pastor) gereja Katolik. Bahkan, belakangan diketahui pelaku kejahatan ini mendapatkan perlindungan secara sistemik oleh gereja. Dikisahkan, para korban pelecehan seksual ini hadir dari keluarga miskin yang membutuhkan biaya untuk sekolah anak-anak mereka. Salah satunya adalah Phil Saviano, yang menceritakan bahwa keluarganya menganggap bahwa gereja adalah tempat pelipur dalam ketidakberdayaan mereka secara ekonomi.

Kekuasaan sebagaimana dikatakan oleh Foucault, bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh negara, sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan ada di mana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Segaris dengan yang terjadi di Boston seperti yang diceritakan dalam film ini, kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia.

Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.

Dalam film ini terlihat dominasi kekuasaan yang terjadi di Gereja Katolik pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pastor di Boston. Kekuasaan Gereja ikut melegitimasi dan bahkan membiarkan kekerasan terus terjadi, paling tidak rentang waktu lebih dari 40 tahun (dari tahun 1970 ke tahun 2012). Seringkali, persoalan seksualitas menjadi hal tabu dipercakapkan, terutama pada Gereja Katolik. Masih menurut Foucault kuasa tidak selalu bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tama bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi, demikian yang terjadi dan bisa kita lihat dari beberapa adegan yang berada di film Spotlights. Relasi kuasa inilah yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terjadi di kalangan gereja Katolik dan hampir tidak tersentuh oleh hukum.

Relasi patron client

Sebuah relasi yang dibangun seiring dinamis bermacam-macam bentuknya. Dinamika yang terjadi dalam sebuah relasi bisa berubah menjadi sebuah relasi patronase. Istilah ‘patron’  berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’  (Usman, 2004: 132). Sedangkan klien berarti ‘bawahan’  atau orang yang diperintah dan yang disuruh.

Relasi antara anak-anak dan pastor pada konteks film ini adalah salah satu bagian dari relasi patron dan klien ini. Anak-anak ini sangat tergantung pada gereja baik secara ekonomi maupun psikologis. Sebagian besar dari mereka lahir dari keluarga miskin. Dalam konteks ini, sangat bisa kita pahami bahwa ketidaksetaraan relasi ini memungkinkan terjadinya kekerasan yang kemudian dibungkam dalam sebuah sistem, terjadi perselingkuhan antara gereja dan negara.

Satu hal penting yang dapat digarisbawahi, yaitu bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pola hubungan patron-klien. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan semacam ini dapat dimasukkan ke dalam hubungan pertukaran yang lebih luas, yaitu teori pertukaran. Adapun asumsi dasar yang diajukan oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran tersebut.

Pertanyaannya, apa yang dipertukarkan antara relasi anak-anak ini dengan gereja? Tentu jasa anak-anak tersebut mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Dalam sebuah adegan di awal film, seorang pastor mengatakan kepada seorang ibu dari korban kurang lebih seperti ini “gereja sudah banyak melakukan hal baik, percayalah pastor ini akan dikeluarkan dari paroki”. Dalam potongan dialog dalam film itu sangat jelas, bahwa relasi yang dibangun antara gereja (pastor) dan anak-anak tersebut adalah relasi seorang atasan dan bawahan, patron-klien.

Tim "Spotlight" sedang bekerja. [Foto: spotlight.com]

 

Ber-Jurnalisme hari ini

Dari Spotlight kita tahu bahwa jurnalisme memiliki peran yang luar biasa dalam menyatakan kebenaran. Membuka hal-hal yang selama ini menjadi urusan privat, padahal itu sebuah kejahatan. Dalam kerangka ini, mengutip perkataan Pram, pekerjaan menulis (termasuk jurnalisme) adalah kerja untuk keabadian adalah keniscayaan.

Lebih jauh dari itu, Kovach dan Rosenstiel menyatakan bahwa tugas pertama dalam jurnalisme adalah menyatakan kebenaran. Kovach juga mengungkapkan bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri mereka sendiri. Pun ini yang terlihat dalam jurnalisme yang dilakukan oleh tim Spotlights yang dipimpin oleh Marty Boron (Liev Schreiber).

Informasi yang disuguhkan oleh tim Spotlight ini sangat powerful. Pasca laporan dari liputan ini, banyak sekali korban yang melaporkan kepada The Boston Globe, dan di akhir film kita tahu pengungkapan kebenaran ini diikuti oleh kota lain, bahkan negara yang berbeda. Investigasi yang dilakukan tim ini bukan untuk menyerang personal, tetapi memberikan informasi kepada publik soal tata nilai sistem dalam gereja yang memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan, dan ini berarti menyasar soal struktur gereja. Informasi ini diberikan, antara lain agar masyarakat bisa mengatur hidupnya, terutama dalam hidup bergereja pada masa itu. Terutama mengatur hidup anak-anaknya agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.

Jurnalisme juga bukan kerja sehari dua hari, bahkan melakukan investigasi soal kekerasan seksual ini juga butuh waktu yang sangat panjang. Dalam penulisan skenario film ini, dibutuhkan waktu selama 10 tahun mencari mengumpulkan fakta dan skenario selesai pada tahun 2013. Mengutip Goenawan Mohamad dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia untuk Kovach dan Rosenstiel, jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir pada berita.

Sikap ingin tahu adalah awal dan dasarnya. Pola ini sangat terlihat sekali dalam tim Spotlight dari The Boston Globe. Masing-masing wartawan memiliki sifat ingin tahu yang sangat besar, dan itu semua menjadi dasar dalam investigasi mereka. Jadi, dalam era media daring dan media sosial yang gegap gempita, kita semua bisa berkontribusi dalam pengungkapan kebenaran dan akan bersama dalam arak-arakan yang bernama citizen journalism. Tetapi, tetap pada prinsip pertama jurnalisme, yaitu kebenaran.

 

Penulis adalah Direktur JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home