Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 18:45 WIB | Kamis, 21 April 2016

Kadin Minta Pemerintah Kembangkan Tata Niaga Kelapa Nasional

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Nurlaila Nur Muhammad (paling kiri) Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno (tengah), Wakil Ketua Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI), Amrizal Indroes (paling kanan) dalam acara "Dialog Pengembangan Komoditas dan Wacana Tata Niaga Kelapa” di Menara Kadin, Jakarta, hari Kamis (21/4). (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyikapi kelangkaan komoditas kelapa belakang ini, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno meminta  pemerintah untuk mengembangkan tata niaga kelapa nasional yang kebutuhannya sangat tinggi.

Menurut  dia, salah satu penyebab kelangkaan kelapa belakangan ini karena semakin tingginya volume ekspor komoditas tersebut.

“Dalam kondisi demikian, pemerintah dinilai harus menerapkan langkah-langkah yang strategis dalam rangka pengembangan komoditas kelapa. Dengan penyusunan kembali tata niaga, tidak semata-mata dapat menjadi solusi dalam permasalahan tersebut,” kata Benny Soetrisno dalam acara "Dialog Pengembangan Komoditas dan Wacana Tata Niaga Kelapa” di Menara Kadin, Jakarta, hari Kamis (21/4).

Menurut Benny, pemerintah seharusnya dapat mengkaji lebih dalam dari segala aspek sejauh mana tata niaga itu diperlukan. “Perlu dilihat apakah langkah tersebut masih relevan dengan tata aturan World Trade Organization (WTO),” katanya.

Benny mengaku, banyaknya komoditas kelapa yang diekspor dikarenakan harga kelapa di pasar internasional lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ada di pasar dalam negeri.

Kondisi yang demikian, kata dia, mempengaruhi pasokan kelapa untuk pasar dalam negeri maupun untuk kebutuhan bahan baku industri lokal.

“Melihat kondisi seperti itu, timbul pertanyaan mengapa industri dalam negeri tidak bisa menyesuaikan dengan harga bahan baku yang berlaku di pasar internasional,” katanya.

Benny mengatakan, kalangan industri meminta bantuan pemerintah agar mudah mendapatkan pasokan, namun baru disikapi pemerintah dengan akan melakukan pengaturan atau tata niaga kelapa.

“Hal tersebut disinyalir agar nilai tambah komoditas kelapa dapat seoptimal mungkin dinikmati pemangku kepentingan dalam negeri,” katanya.

Menurut Benny, langkah tersebut dinilai akan mendukung hilirisasi industri atau peningkatan nilai tambah kelapa. “Artinya, kelapa tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah, tetapi sudah diolah menjadi santan, minuman air kelapa, atau produk kelapa parut dengan beragam spesifikasi kandungan,” katanya.

Meski demikian, lanjut Benny, hilirisasi sebaiknya juga harus dengan pengkajian yang komprehensif dan rencana aksi yang matang. Perlu diperhatikan seberapa banyak manfaat ekonominya.

“Apakah setelah diolah bisa lebih baik dijualnya? Jangan sampai hilirisasi justru menjadikan aktivitas ekonomi lainnya di masyarakat terganggu, terlebih di sisi hulu komoditas kelapa,” katanya.

“Selain itu, perlu dikaji pula, apakah sudah dijamin bahwa dengan hanya harus diolah akan lebih baik? Lalu bagaimana dengan daya saing infustri itu sendiri dan aspek-aspek lainnya dalam hilirisasi seperti biaya transportasi, bungka perbankan, pungutan-pungutan dan lain-lainnya?” dia menambahkan.

Saat ini, Indonesia tengah dilanda krisis buah kelapa. Indonesia merupakan salah satu negara produsen kelapa terbesar dunia dengan rata-rata produksi sebesar 12,9 miliar butir per tahun.

Krisis kelapa ini terjadi karena banyaknya pohon kelapa yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Sementara, permintaan terhadap kelapa cukup besar, baik untuk pasar lokal maupun ekspor.

Selama periode 2015-2016 harga buah kelapa segar di pasar tradisional mengalami kenaikan dari Rp 2.500-Rp 3.000 kini menjadi Rp 8.000 per buah. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home