Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:05 WIB | Kamis, 29 Oktober 2015

Kemristekdikti: Indonesia Masih Kekurangan Profesor

Ilustrasi. (Foto: gbgindonesia.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM  - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), menyatakan bahwa Indonesia masih kekurangan jumlah profesor atau guru besar.

"Jumlahnya baru sekitar 5.300 profesor, padahal jumlah program studi di Tanah Air mencapai 22.000," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti, di Jakarta, Kamis (29/10).

Padahal, jumlah mahasiswa di perguruan tinggi saat ini yakni 6,3 juta jiwa. Apabila dibandingkan dengan program studi (prodi), jumlah tersebut sangat kecil, karena jumlah prodi di Tanah Air mencapai 22.000. Idealnya setiap prodi dikepalai oleh seorang profesor.

Beberapa hal, yang menyebabkan sedikitnya jumlah profesor di Tanah Air, kata Ghufron, adalah berbelitnya birokrasi dan keuangan yang tidak mencukupi untuk membayar tunjangan jabatan profesor.

Selain itu, anggaran penelitian yang diberikan pemerintah sangat kecil, yakni 0,009 dari Produk Domestik Bruto (PDB). Idealnya untuk riset adalah 1,5 persen dari PDB. "Kami memangkas birokrasi yang berbelit tersebut, sehingga diharapkan calon profesor semakin bersemangat meraih jabatan tertinggi itu,” katanya.

Dia menegaskan, profesor bukanlah gelar akademik, melainkan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen. Untuk bisa mendapatkan jabatan profesor, kata dia, seorang dosen harus mengajar selama 10 tahun atau meraih nilai kredit mencapai 1.000.

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah mengenai profesor tersebut. Sehingga tak jarang, yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan profesor di depan namanya.

Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sofian Effendi, menuturkan kurangnya jumlah profesor menyebabkan pemeringkatan internasional perguruan tinggi di Tanah Air selalu berada di peringkat bawah.

"Riset tentu berbeda jika dibandingkan pembiayaan untuk infrastruktur. Kalau infrastruktur, kelihatan langsung wujudnya. Berbeda dengan riset yang membutuhkan waktu lama. Ponsel cerdas yang kita gunakan sekarang sudah ada risetnya sejak 1970-an, saya lihat sendiri di Korea Selatan," kata Sofian.

Oleh karena itu, Sofian meminta pemerintah tidak "pelit" memberikan anggaran untuk riset karena akan bermanfaat untuk meningkatkan daya saing bangsa.(Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home