Loading...
FOTO
Penulis: Reporter Satuharapan 11:44 WIB | Selasa, 31 Januari 2017

Ketua MUI: Ucapan Ahok Menghina Agama dan Ulama

Ketua MUI: Ucapan Ahok Menghina Agama dan Ulama
Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin (tengah) berjalan sebelum mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima saksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. (Foto-foto: Antara)
Ketua MUI: Ucapan Ahok Menghina Agama dan Ulama
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1). Persidangan digelar dengan agenda mendengarkan keterangan lima saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ketua MUI: Ucapan Ahok Menghina Agama dan Ulama
Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) sidang kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Ali Mukartono, menjawab pertanyaan wartawan sebelum mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengagendakan menghadirkan lima saksi dalam sidang lanjutan tersebut antara lain Ketua MUI Ma'aruf Amin dan anggota KPUD DKI Jakarta Dahlia.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma`ruf Amin menyatakan sikap dan pendapat keagamaan terkait penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dibahas oleh empat komisi di dalam MUI. Kemudian empat komisi menyimpulkan bahwa ucapan "dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51" mengandung penghinaan terhadap agama dan ulama.

"Empat komisi yang terdiri dari komisi fatwa, undang-undang, pengkajian, dan informasi melakukan penelitian dan investigasi di lapangan kemudian melakukan pembahasan," kata Ma`ruf saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, hari Selasa (31/1).

Setelah dilakukan pembahasan pada empat komisi itu, kata Ma`ruf, hasilnya dilaporkan kepada pengurus harian. 

"Kemudian dibahas lagi di pengurus harian termasuk saya.

Pengurus harian itu ada ketua umum, wakil ketua, dan sekretaris-sekretaris. Pengurus harian inti ada sekitar 20 orang," katanya.

Ma`ruf menyatakan setelah pembahasan dalam pengurus harian kemudian lahir sikap dan pendapat keagamaan MUI yang menyimpulkan bahwa ucapan "dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51" itu mengandung penghinaan terhadap agama dan ulama.

Ia mengatakan sikap dan pendapat keagamaan MUI itu ditanda tangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal MUI.

"Dibandingkan dengan fatwa, kami keluarkan pendapat dan sikap keagamaan MUI karena tidak hanya dibahas di komisi fatwa tetapi juga dibahas dengan empat komisi dan pengurus harian, lebih banyak yang terlibat," ucap Ma`ruf.

Ia menyatakan penelitian dan pembahasan soal ucapan Ahok itu berlangsung selama 11 hari sampai dikeluarkannya sikap dan pendapat keagamaan MUI.

"Dari 1 sampai 11 Oktober 2016 dibahas sampai produk ini keluar. Sikap dan pendapat ini ditujukan kepada penegak hukum untuk diproses agar kegaduhan di masyarakat tidak mengarah ke sikap anarkis. Tentu penegak hukum ini, pertama ke pihak kepolisian," ucap Ma`ruf.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri menghadirkan lima saksi dalam sidang kedelapan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

Lima saksi itu antara lain dua saksi dari nelayan di Pulang Panggang, Kepulauan Seribu, yaitu Jaenudin alias Panel bin Adim dan Sahbudin alias Deni. Selanjutnya Ketua Umum MUI Ma`ruf Amin dan Komisioner KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar. Satu saksi lagi yaitu Ibnu Baskoro sebagai saksi pelapor.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home