Loading...
RELIGI
Penulis: Francisca Christy Rosana 21:19 WIB | Jumat, 23 Januari 2015

Ketua STT Jakarta: Gereja Pinggirkan 3 Kelompok Umat

Dari kiri Martin L Sinaga, Prof Dr John Titaley (Rektor Universitas Kristen Satya Wacana), Dr Joas Adiprasetya (Ketua STT Jakarta) saat acara Dialog Interaktif dan Ibadah Syukur Tahun Baru Oikoumene Pemimpin Gereja-Gereja dan Perguruan Tinggi di Jakarta pada Jumat (23/1) sore di Gedung Sinar Kasih, Cawang, Jakarta Timur. (Foto: Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta Pdt Joas Adiprasetya mengatakan dalam kehidupan jemaat, gereja, masyarakat setidaknya ada kelompok manusia atau kelompok umat yang paling terpinggirkan.

“Yang pertama adalah kaum awam (non-pejabat dan non-imam), yang kedua adalah kaum perempuan, dan ketiga adalah anak-anak muda,” kata Joas saat mengisi acara Dialog Interaktif dan Ibadah Syukur Tahun Baru Oikoumene Pemimpin Gereja-Gereja dan Perguruan Tinggi di Jakarta pada Jumat (23/1) sore di Gedung Sinar Kasih, Cawang, Jakarta Timur.

Jika gereja tidak sungguh-sungguh melawan peminggiran atas tiga kelompok tersebut, Joas menilai gereja bisa mundur dan mati.

“95 persen jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) ternyata memiliki sebuah pola yang sama, yaitu menurunnya jumlah anak-anak muda. Secara natural, masa depan GKI akan hilang karena berkurangnya warga muda gereja. Kita kemudian menyalahkan gereja lain mencuri domba dan sebagainya. Namun persoalan yang paling penting adalah anak muda dipinggirkan,” Joas menjelaskan.

Mekanisme peminggiran terjadi karena pola bergereja yang hierarkis. Sebuah penjenjangan piramida oleh sekelompok orang di atas dan mayoritas di bawah dipinggirkan atau ditekan. Peminggiran itu dilakukan dalam tiga bentuk, yakni yang pertama klerikarki yakni pemerintah oleh para klerus. “Pejabat gerejawi berwewenang untuk menentukan nasib dan masa depan serta kini masa depan gereja,” ujarnya.

Selanjutnya yang kedua adalah gerontarki, yakni pemerintahan, penguasaan oleh orangtua terhadap anak muda.

“Mereka selalu memakai semboyan anak muda adalah pemimpin masa depan. Dan menurut saya itu sekadar melegimitasi kekuasaan orangtua. Jika anak muda tidak menjadi pemimpin masa kini, mereka tidak akan pernah menjadi pemimpin masa depan,” Joas menambahkan.

Sementara yang ketiga adalah patriarki, yaitu pemerintahan berdasarkan oleh bapak atau laki-laki. Hierarki itu terdiri atas tiga jenjang, yakni klerus, orang tua, dan laki-laki.

Menurut Joas, semua ini adalah tiga wajah dari hierarki yang dikuduskan.

Yesus Pernah Mengecam

Yesus, kata Joas pernah mengecam hierarki semacam ini.

“Jadi ada sebuah counter model yang Yesus tawarkan. Jika hierarki itu merupakan sebuah piramida dengan ujung di atas, maka Yesus menjungkirbalikkan piramida itu menjadi piramida terbalik. Siapa yang ingin di atas dia harus di bawah dan siapa yang mau menjadi tuan, dia harus menjadi hamba,” Joas menjelaskan.

Dengan kata lain, model yang Yesus tawarkan ini merupakan sebuah obat antibiotik terhadap bakteri-bakteri hierarki.

Sayangnya, menurut pengamatan Joas, hierarki ini kemudian dikonsumsi secara berlebihan dalam tubuh gereja dan dianggap sebagai sebuah nutrisi yang bisa menyehatkan gereja.

“Fungsinya sebagai counter model atau counter culture berubah menjadi makanan sehari-hari. Itu sebabnya dalam kehidupan gereja kita kerap memakai kata yang muncul dari model counter culture ini,” Joas menambahkan.

Pelayanan Jadi Kata Tak Bermakna

Kini, menurut Joas, kata pelayanan menjadi sudah begitu lazim dan tanpa arti.

“Kita menjustifikasinya dengan berkata ‘ini model yang Yesus tawarkan’. Berhadapan dengan model hierarki ini, Yesus membalikkan dengan berkata ‘kamu harus menjadi pelayan, kamu harus menjadi hamba’. Itulah yang saya menyebutnya doularki dari kata dari kata doulos dan arki,” ujar Joas.

Doularki merupakan sebuah kepemimpinan hamba yang kemudian laris di mana-mana. Kepemimpinan ini disebut sebagai servant leadership.

“Di situlah persoalannya. Ketika doularki menjadi wajah gereja dan jadi semboyan gereja, justru apa yang terbalik ini menyimpan hierarki lain. Jadi doularki yang digunakan Yesus justru menjadi kendaraan bagi hierarki yang Yesus lawan,” katanya.

Semakin hierarkis, menurut Joas, semakin berlebihanlah kata-kata pelayanan itu dipakai. Kata pelayanan kemudian menjadi pembungkaman atau pembisuan anak-anak muda dan kaum perempuan.

“Itu (pelayanan, Red) menjadi alat yang ampuh untuk mendatangkan uang atas nama pelayanan. Lebih celaka lagi jika terjadi internalisasi terhadap perempuan, kaum muda, dan awam atas nama pelayanan,” ujarnya.

Dari Doularki ke Filiarki

Joas mengatakan kini umat Kristen harus melampaui doularki dan servant leadership karena fungsinya hanya sebagai antibiotik. Jemaat harus melihat hal ini sebagai counter culture yang Yesus tawarkan, tapi bukan ideal culture yang Yesus mimpikan.

“Yang Yesus mimpikan adalah persahabatan atau filiarki atau kepempinan para sahabat,” kata Joas.

Berbeda dengan hierarki dan doularki yang bersifat vertikal, filiarki ini bersifat horisontal. Seorang pemimpin sahabat tidak boleh diimajikan sebagai pusat komunitas. Menjadikan pemimpin pusat akan mengakibatkan marginalisasi baru, dengan anggota jemaat, perempuan, dan kaum muda tetap sebagai korban yang terpinggirkan.

“Kita perlu memperdalam teologi pemimpin persahabatan,” Joas menambahkan. 

Baca juga:

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home