Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 14:25 WIB | Selasa, 22 Maret 2016

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Draft Revisi UU Minerba

Ilustrasi Tambang (Foto: bumn.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) menolak draft revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba versi Pemerintah yang masuk dalam program legislasi nasional (Proglegnas) prioritas 2016 sebagai Undang-Undang (UU) perubahan.

“Terhadap rencana perubahan UU Minerba dari materi versi pemerintah, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Minerba, menyatakan menolak draft RUU versi pemerintah per Januari 2016 untuk dibahas lebih lanjut,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Hendrik Siregar dalam konferensi pers di Jakarta, hari Selasa (22/3).

Menurut Hendrik, secara substansi pokok draft RUU tidak bergeser dari UU yang lama dan kental sekali akan kepentingan perusahaan-perusahaan skala besar, terutama pemilik Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B).

“Bahkan, cenderung menghadirkan UU baru bukan perubahan, di antaranya menambahkan materi tentang tambang laut dalam dan radioaktif yang sifatnya eksploitatif, yang tertuang dalam naskah akademik maupun draft RUU,” katanya.

Dia menilai, tidak ada pergesaran paradigma di dalam draft RUU Minerba versi pemerintah, terutama dalam memandang kekayaan alam guna kemakmuran rakyat yang didasarkan pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

“Pasal tersebut harusnya ditafsirkan lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pemegang mandat yang dikuasakan untuk mengelola sumber daya alam, namun bertindak semena-mena terhadap pemberi mandat, yakni rakyat Indonesia,” katanya.

“Oleh karenanya pengakuan hak-hak masyarakat, terutama yang berkaitan langsung dengan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan, semestinya ditegakkan di sini,” lanjutnya.

Hendrik mengaku dalam draft revisi RUU Minerba pemerintah tidak mengedepankan persoalan hak-hak masyarakat dan pengakuan masyarakat adat dikesampingkan. Menurutnya, masyarakat hanya dimintai persetujuan akhir, seperti persetujuan pengunaan lahan.

“Kekhawatiran kita, masyarakat sendiri tidak dilibatkan dia awal sehingga kemudian timbul masalah-masalah di kemudian hari ketika masyarakat dianggap menolak pembangunan atau mengganggu investasi,” katanya.

“Persoalan masyarakat, keselamatan masyarakat, keadilan rakyat belum menjadi pertimbangan perundang-undangan. Masyarakat tidak dilibatkan dari proses awal, sehingga masyarakat dirugikan di kemudian hari,” dia menambahkan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home