Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 18:01 WIB | Sabtu, 10 Mei 2014

Komnas Perempuan Kecam Perkosaan di Langsa Aceh

Algojo mencabuk delapan kali seorang wanita terkait kasus mesum (zina) saat eksekusi cambuk di Mesjid Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Jumat (10/12/10). (Foto: Antara)

LANGSA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam tindak pemerkosaan berkelompok (gang rape) dalam aksi main hakim sendiri masyarakat di Gampong Lhok Bani Kota Langsa, Kamis (1/5) lalu.

Perkosaan tersebut dilakukan oleh delapan orang, salah satunya berusia 13 tahun, terhadap seorang perempuan yang dituduh melakukan pelanggaran atas aturan daerah tentang khalawat/mesum. Komnas Perempuan meminta semua pihak untuk memngutamakan pemulihan korban, upaya penegakan hukum, memutus impunitas pelaku kekerasan, dan mengurai akar masalah dalam menyikapi persoalan itu.

Menurut Komnas Perempuan, pemerkosaan merupakan tindak kejahatan luar biasa yang dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan bahkan mampu menghancurkan diri dan kehidupan korban. Korban memerlukan upaya pemulihan hak-haknya dan butuh dukungan dari banyak pihak. Dukungan tersebut dapat diperoleh dengan penerapan pendekatan layanan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT).

Sistem tersebut memberikan perlakuan khusus dan kemudahan bagi korban dalam mengakses keadilan, melalui koordinasi layanan pemulihan komprehensif yang melibatkan lintas sektor seperti layanan medis, psikologi, bantuan hukum dan pendampingan, serta jaminan perlindungan memadai dari perlakuan diskriminasi hukum dan ancaman yang membuat korban takut memberikan keterangan atas perkosaan yang dialaminya.

Koordinasi tersebut akan berjalan efektif bila hukum berpijak pada pengalaman korban dengan tidak menyalahkan korban. Komnas Perempuan berharap agar apa yang dialami oleh seorang perempuan di Langsa tersebut bisa diberantas. Latar belakang kesalahan yang dilakukan oleh korban tidak dapat menjadi alasan pembenar untuk disikapi sebagai bentuk penghukuman yang tidak manusiawi.

Desak Kepolisian Usut Tuntas

Komnas Perempuan juga berharap agar pihak kepolisian mengusut tuntas kasus itu dan memastikan semua proses hukum bagi pelaku. Hal itu mengingat bahwa pada kasus 2010 yang lalu sebagian pelaku perkosaan masih melenggang bebas. Demi kewibaan hukum dan keadilan, Komnas Perempuan berharap langkah proaktif Kepolisian juga akan diikuti oleh pihak kejaksaan dan pengadilan.

Pemerkosaan berkelompok itu merupakan aksi pembiaran aksi main hakim sendiri atas nama penegakan Syariat Islam dan otonomi khusus Aceh yang telah berulang kali terjadi. Dalam aksi tersebut kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus yang sering terjadi. Komnas Perempuan mengamati bahwa hingga kini belum ada upaya sungguh-sungguh untuk mencegah aksi main hakim sendiri dan penegakan hukum yang memenjarakan pelaku kekerasan. Sebaliknya pelaku mendapatkan pembelaan dengan menggunakan pasal multitafsir dalam aturan daerah tersebut tentang peran masyarakat.

Perda Aceh yang Bisa Diatur

Mengutip dari siaran pers Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada Jumat (9/5), hasil pemantauan Komnas Perempuan menyebutkan tindak kekerasan terhadap perempuan rentan terjadi dalam pelaksanaan kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Konstitusi. Hingga Maret 2014, Komnas Perempuan mencatat ada 342 kebijakan diskriminatif, 334 di antaranya adalah kebijakan daerah.

Dalam konteks Aceh, keberadaan kebijakan daerah yang diskriminatif tidak terlepas dari adanya pasal-pasal multitafsir dalam UU tentang Pemerintahan Aceh yang seolah membolehkan Pemerintah Aceh mengatur hukumnya sendiri meskipun bertolak belakang dengan hukum nasional. Situasi itu selain melahirkan peraturan daerah yang menghadirkan kekerasan terhadap perempuan secara berlapis dalam pengaturan maupun praktiknya, serta juga akhirnya menggerogoti integritas hukum nasional.

Untuk menuntaskan kasus itu, Komnas Perempuan mengungkapkan beberapa harapannya kepada pihak-pihak terkait. Di antaranya adalah menggunakan Undang-Undang Peradilan Anak terkait dengan pelaku yang di antaranya masih berusia anak-anak. Selain itu Komnas Perempuan juga mengingatkan Pemerintah Langsa untuk menjalankan kewajiban memastikan perempuan yang menghadapi masalah hukum diperlakukan sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma.

Komnas Perempuan juga meminta Pemerintah Aceh untuk menjabarkan dengan jelas dan tegas batasan peran serta masyarakat, meminta Pemerintah Aceh untuk mengembangkan dan melaksanakan langkah pencegahan dan penanganan aksi main hakim sendiri dalam penyelenggaraan aturan daerah, menata ulang kerangka otonomi khusus yang berpijak pada penghormatan harkat, martabat dan hak-hak asasi manusia sebagai bagian dari nilai-nilai agama, mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk mengklarifikasi dan membatalkan peraturan daerah yang diskriminatif, mengajak Mahkamah Agung segera mengambil langkah proaktif untuk mengoreksi peraturan daerah Aceh, dan meminta pemerintah pusat melakukan kajian dan memperbaiki kerangka otonomi khusus Aceh. (PR)

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home