Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:27 WIB | Rabu, 02 Desember 2015

LIPI: Restorasi Gambut Harus Berbasis Ekologis-Ekonomis

Ilustrasi: lahan gambut yang terbakar. (Foto: Antaranews/Jessica Helena Wuysang)

PARIS, SATUHARAPAN.COM - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof M Purwanto, mengatakan restorasi ekosistem gambut yang digaungkan Pemerintah Indonesia sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, harus berbasis ekologis dan ekonomis.

"Restorasi gambut berbasis ekologis dan ekonomis, maksudnya, ada penetapan status tentang ekosistem yang harus diproteksi dan hanya pemanfaatan jasa lingkungannya," katanya di area pelaksaan KTT Iklim di Le Bourget, Paris, Senin (30/11) waktu setempat.

Eksekutif Director The Indonesian Man and Biosphere UNESCO, Indonesian Program ini, menjelaskan bahwa penetapan status ekologis dikarenakan fungsi ekosistem gambut tersebut sangat strategis, misalnya sebagai menara air, atau sumber mata air.

Ia mencontohkan, penetapan kawasan cagar biosfer Siam Siak Kecil-Bukit Batu seluas 700.000 hektare, di mana seluas 178.000 hektare ditetapkan sebagai area proteksi karena menjadi sumber air bagi kawasan di sekitarnya.

"Area proteksi ini tetap dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, dan pemanfatan jasa lingkungan," katanya.

Purwanto mengharapkan, Badan Restorasi Ekosistem Gambut yang akan dibentuk pemerintah akan menyusun program yang jelas, untuk memulihkan ekosistem gambut yang kritis, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah, pemetaan status untuk mengetahui ekosistem yang harus diproteksi dan ekosistem yang dapat dikelola guna mendukung sektor pertanian.

"Harus transparan. Artinya ekosistem yang memiliki fungsi ekologis tinggi, biasanya gambut dalam harus dilepaskan dari konsesi atau penguasaan pihak lain untuk diproteksi," katanya.

Kegiatan perekonomian di wilayah gambut, menurut Purwanto, sudah dijalankan masyarakat selama turun temurun dan masyarakat asli memiliki kearifan lokal, untuk mengelola gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang memproduksi emisi.

Sementara itu Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan, berpendapat perubahan kebijakan harus menjadi landasan perbaikan tata kelola lahan dan hutan, dengan menempatkan gambut sebagai kawasan yang dilindungi dan dimanfaatkan tanpa mengubah ekosistem gambut secara signifikan, seperti kegiatan wisata alam, penelitian, pemanfaatan hasil hutan non kayu, dan pemanfaatan komoditas lokal di dalam ekosistem gambut.

"Gambut menjadi sasaran eksploitasi, karena tanah-tanah mineral sudah dibebani izin meski di sisi lain tidak semua izin itu dikelola dan dimanfaatkan sehingga kawasan gambut menjadi sasaran yang dianggap sebagai kawasan yang masih `kosong`," kata Riko yang juga mengikuti COP ke-21 di Paris.

Terkait pembentukan badan restorasi, ia menegaskan bahwa institusi tersebut harus mampu menjawah ego sektoral dan memiliki target capaian yang jelas secara kualitatif dan kuantitatif.

Selain itu, ia menegaskan, peran serta para pihak menjadi faktor penting dalam pengelolaan gambut menjadi kunci penting, sebab secara faktual, banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan gambut.

"Model pengelolaan gambut oleh masyarakat menurut dia dapat diadopsi dalam model pengelolaan gambut ke depan," katanya.

Pengelolaan ekosistem gambut, menjadi salah satu dari sejumlah strategi pemerintah Indonesia di sektor pengelolaan lahan dan hutan untuk mewujudkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pidato dalam pertemuan "Leaders Event" di KTT Iklim ke-21 di Paris mengatakan, pemerintah akan membentuk Badan Restorasi Ekosistem Gambut, menerapkan moratorium dan revisi izin pemanfaatan lahan gambut. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home