Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 09:30 WIB | Senin, 10 Maret 2014

Logika Naif di Tengah Pemilu 2014

SATUHARPAN.COM – Ketika akhirnya dana sebesar Rp 700 miliar untuk honor saksi partai ditolak – padahal sudah disetujui DPR – sebagian anggota DPR dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tetap saja menggangap hal itu sebagai keputusan yang salah. Alasannya adalah dana negara itu sebagai wujud keberpihakan negara dalam mewujudkan pemilu berkualitas.

Sikap itu adalah pelecehan logika yang berlanjut setelah logika awal. Dana saksi parpol dari anggaran negara pantas ditolak karena hal itu adalah kepentingan parpol, dan karenanya menggunakan dana parpol.

Lalu parpol pendukung dan Bawaslu berargumentasi bahwa tidak semua parpol bisa menghadirkan saksi, karena masalah dana. Ini bisa menimbulkan kecurangan. Ini merendahkan logika rakyat. Parpol yang tidak bisa menghadirkan saksi kecuali dibayar, berarti kader parpol itu kader bayaran atau mungkin dana partai hanya ada di elite. Partai seperti ini tak perlu diratapi kalau tak lulus electoral treshold.

Lalu dana itu dibatalkan. Kemudian yang mendukung beranggapan bahwa dana itu dari negara untuk mewujudkan pemilu berkualitas. Kalau dana negara, semestinya digunakan untuk saksi negara, bukan saksi parpol. Dan dalam pemilu tidak ada saksi negara.

Bukankan rakyat telah dirundung pelecehan bahwa DPR dibayar negara, karena mereka pejabat negara, tetapi ada yang berperilaku untuk kepentingan partai, bukan kepentingan negara? Dan lebih parah bertindak untuk kepentingan kelompok atau golongan, bahkan kepentingan pribadi.

Ini adalah contoh logika-logika yang naif dalam pemilu yang akan segera berlangsung. Dan satu contoh dari seringnya logika dilecehkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Sayangnya, logika seperti ini masih dipertahankan dengan gigih. Hal itu hampir dipastikan juga akan dilakukan dengan menggunakan logika yang makin aneh bin ajaib.

Salah satu yang sekarang diperdebatkan adalah tidak disediakannya surat suara bagi penyandang tuna netra. Mereka hanya akan dibantu dengan karton bertuliskan huruf braile untuk memandu pemilih menentukan pilihannya.

Berapa banyak warga negara yang diabaikan dengan cara ini? Menurut data Organisasi Keesehatan Dunia (WHO) di Indonesia ada 3,5 juta penyandang tuna netra. Jumlah itu dikurangi sekitar 90.000 penyandang yang masih remaja dan anak-anak yang belum mempunyai hak memilih. Itu jumlah bisar warga negara yang dianggap tak penting untuk diperhatikan haknya. Ini diskriminasi.

Bahasa Perlawanan

Pelecehan logika yang bertebaran di ruang publik selama ini terus mendapatkan perlawanan. Banyaknya petisi melalui media internet adalah cerminan dari perlawanan terhadap kekelirun logika yang terjadi dalam pemerintahan dan kehidupan kenegaraan.

Ketika kampanye belum dimulai, dan kandidat anggota legislatif dan partai politik justru jor-joran dengan alat peraga kampanye, muncul perlawanan yang juga dengan permainan logika. Di berberapa daerah telah mucul spanduk untuk melawan masifnya spandul parpol dan caleg.

Di antara spanduk perlawanan itu muncul spanduk yang menyebut diri “Galeg Golput” menandai ketidakpercayaan pada kader partai yang ditawarkan atau penyelenggaraan pemilu. Di tempat lain muncul spanduk bertulisakan: “Ada uang ada Suara, Menerima Serangan Fajar.” Pernyataan sisnis atas politik uang dan transaksional yang makin masif.

Di tempat lain terpampang: “Jangan Pilih Gue, Gue Pasti Korupsi!” Spanduk ini menandai muaknya rakyat dengan korupsi yang makin masif dilakukan oleh pejabat negara di eksekutif dan legislatif. Apalagi penampilan koruptor yang dengan senyum dan acungan jempol seperti manusia tak berdosa.

Yang lain dengan nada sinis yang sama memasang spanduk bertuliskan: “Sumpah! Saya (N)anti Korupsi! Pilih No...!” Spanduk yang jelas bukan dari caleg dan partai. Dan spanduk yang lain yang bernada pesismistis dan mengarah pada golongan putih.

Bahasa Iklan Para Caleg

Caleg sendiri yang mengabaikan aturan dengan memasang spanduk sebelum masa kampanye dimulai, menggunakan bahasa yang menghina logika rakyat. Ada caleg tampil dengan pakaian Superman, lengkap dengan tulisan S di dada, karena nama caleg diawali juga dengan huruf S.

“Superman” yang lain tampil dengan selendang kuning bergambar partai dan huruf di dada diganti angka “5”.  Jika anak-anak balita boleh memilih, dan di surat suara caleg itu tampil dengan foto seperti itu, serta membagikan coklat di TPS, mungkin caleg itu akan mendapat suara karena “iklannya itu”. Yang lain menampilkan foto pemain sepak bola klub di Eropa, bintang film Hollywood, tokoh fiktif, bahkan komedian yang tidak ada kena-mengenanya dengan politik Indonesia.

Para caleg juga banyak yang menggunakan bahasa iklan yang sering melawan logika, karena mengejar bahasa yang singkat dan unik. Maka muncul kata-kata “Menegakkan Keadilan,” meskipun  banyak kader partai itu sedang berurusan perkara korupsi. Yang lain menyebutkan “Bekerja untuk Rakyat,” “Menjaga Persatuan!”, “Justice Warior!”, “Gue Banget!”, “Impianmu”, dan ada yang menyebut “Dulu Zamannya Soeharto, Sekarang Zamannya Suharti,” dan banyak lagi yang aneh, termasuk yang melecehkan satu keyakinan dan agama.

Bahasa-bahasa yang digunakan menyerupai bahasa “tukang obat” yang mengatakan obat buatanya sebagai “panasea” dan hampir pasti bombastis, dan kemungkinan besar tidak sesuai realita. Seperti iklan produk makanan dengan menampilkan atlet berprestasi. Seolah-olah prestasi itu karena makanan tersebut, padahal mungkin saja dia makan produk itu justru setelah jadi bintang iklan. Gaya inilah yang sekarang digunakan para caleg.

Apa yang bisa diharapkan dari pemilu dengan kandidat seperti ini? Politik adalah masalah realitas dan rasionalitas untuk membangun bangsa dan negara ini. Para pemimpin harusnya dipilih dengan pertimbangan rasio atas kepentingan dan kebutuhan bersama sebagai bangsa. Mereka yang menganggap diri pantas jadi pemimpin mestinya figur yang mendorong pemilu yang rasional.

Oleh karena itu, dengan masyarakat yang makin kritis, tantangannya sekarang adalah masalah golongan putih. Golput menjadi pilihan “rasional” ketika pilihan lain keterlaluan naifnya. Jadi, masalahnya adalah mampukah partai dan caleg melawan secara rasional dengan kampanye yang rasional. KPU dan Bawaslu juga harus mau mengoreksi pelecehan logika yang terlanjur.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home