Loading...
RELIGI
Penulis: Endang Saputra 16:12 WIB | Jumat, 25 September 2015

Maftuh: Jangan "Gurui" Saudi Dalam Mengatur Haji

Ilustrasi: Banyak jemaah haji Indonesia melaksanakan Mabit dekat Jamarat untuk mempermudah dan mempercepat proses lontar jumrah hari kedua yang dilaksanakan tanggal 10 Dzulhijah 1436 H, yaitu lontar jumrah untuk Ula, Wustha dan Aqobah (24/9). (Foto: kemenag.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI) Muhammad Maftuh Basyuni  mengatakan Indonesia memiliki hak memberi masukan perbaikan penyelenggaraan ibadah haji kepada Kementerian Haji Arab Saudi, namun tidak perlu dilakukan secara formal karena bisa menimbulkan kesan pejabat setempat merasa "digurui".

Peristiwa di Jalan 204 di Mina, saat puncak ritual jumrah pada hari Kamis (24/9) mengagetkan berbagai pihak. Pihak otoritas pertahanan sipil Arab Saudi menyebut korban tewas sampai saat ini mencapai 717 orang. Sementara korban luka akibat peristiwa ini mencapai 863 orang.

Akibat peristiwa tersebut, ingatan publik kembali pada beberapa tahun silam saat puncak ritual haji. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai terowongan Mina Al Mu`aisim pada tahun 1990, dan tercatat 1.426 korban jiwa.

Mereka meninggal akibat kekurangan oksigen, disebabkan terkurung, saling dorong pada terowongan sempit Al Mu`aisim, yang dilalui oleh ribuan jemaah haji dari dua arah berlawanan pada waktu yang sama,.

Dari peristiwa itu, kata Maftuh, pihaknya saat itu memberi masukan perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tidak melalui jalur formal.

"Bicara baik-baik, tanpa harus menggurui untuk memperbaiki penyelenggaraan haji. Akhirnya ditemui solusi, yaitu membuat terowongan baru yang serupa, sehingga dapat digunakan dari arah berlawanan seperti sekarang ini," katanya di Jakarta, hari Jumat (25/9).

Penyelenggaraan ibadah haji, lanjut dia, dari tahun ke tahun diikuti berbagai ragam jenis manusia. Mulai yang berpendidikan rendah sampai tinggi, dari berbagai etnis dan bangsa-bangsa.

Namun, dalam pelaksanaannya kerap dibumbui hawa nafsu dan tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Seperti pada kasus Mina pada musim haji 1436 H/2015 M ini, terasa sangat memilukan.

Peristiwa buruk itu tak akan terjadi jika jemaah mengindahkan aturan yang ada. Namun, di sisi lain ia pun mengakui jemaah dari Afrika yang kebanyakan memiliki pendidikan rendah, tidak paham akan aturan yang berlaku. Saat kapan harus melontar atau jumrah dan bagaimana etika berjalan tanpa harus mengganggu orang sekitar. Hal ini ditambah lagi dengan minimnya jumlah aparat kemanan dari negara setempat.

Polisi Saudi seharusnya dapat mengatur arus pergerakan manusia. Namun, sepengetahuan Maftuh, ketika menjadi amirul haj beberapa tahun silam, polisi setempat tidak paham betul bagaimana harus mengambil tindakan tatkala ada insiden di lokasi jamarat.

Polisi ataupun petugas keamanan yang ditempatkan di lingkungan jamarat tak paham betul "medan" setempat. Para petugas atau polisi itu kebanyakan diambil dari wilayah lain, misalnya dari Riyadh, yang saat puncak haji ditempatkan di lokasi itu.

"Mereka sangat tak paham, apa dan bagaimana harus bertindak. Buka buku paspor saja mereka tak ngerti," kata dia.

Upaya peningkatan pelayanan bagi jemaah haji harus lihai melobi pihak otoritas setempat. Ia memberi contoh, untuk menempatkan klinik saja di Arafah ketika pelaksanaan wukuf, pihak otoritas setempat pasti akan marah. Padahal, tindakan itu dimaksudkan untuk memberi keringanan dan kelancaran pelaksanaan wukuf bagi jemaah. Seperti memberi obat yang cocok untuk jemaah dan memberi pertolongan dengan cepat.

"Mereka marah, karena sudah menyiapkan ambulans dan sebagainya," kata Maftuh bercerita.

Agar upaya menempatkan poliklinik itu bisa disetujui, katanya, harus dapat diyakinkan bahwa hal itu harus tidak akan mengganggu pelaksanaan ritual haji. Bahkan memperlancar. Jangan sampai ada kecurigaan, kehadiran poliklinik di Arafah saat itu untuk kepentingan komersial.

"Kita memang menggratiskan, mulai pelayanan dan pemberian obat," kata dia.

Jadi, lanjutnya lagi, untuk memperbaiki layanan jemaah haji memang tak bisa bergantung kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) saja, tetapi pemangku kepentingan yang ada di Saudi sangat penting. Namun, lagi-lagi, tidak harus "menggurui" orang Saudi untuk memperbaikinya karena ego mereka sangat tinggi.(Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home