Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 19:32 WIB | Sabtu, 23 April 2016

Mahasiswa Papua di Australia Nekad Suarakan Aspirasi Merdeka

Sebuah foto dokumentasi ketika terjadi unjuk rasa pembebasan Papua di Melbourne, pada tahun 2012 (Foto:Wikipedia)

MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM - Sebuah laporan dari Australia menunjukkan geliat pergerakan sejumlah mahasiswa Papua di Australia untuk menyuarakan kemerdekaan bagi tanah kelahirannya. Para mahasiswa itu mengaku mendapat tekanan bahkan dimata-matai oleh pemerintah RI, namun sebagian dari mereka bergeming.

Lebih jauh, pergerakan ini memberi kesan adanya gejala  nekad, mengorbankan hal terpenting dalam hidup mereka. Para mahasiswa itu menempuh studi di Australia sebetulnya atas biaya pemerintah, namun sebagian dari mereka tetap melanjutkan aktivitasnya kendati risikonya beasiswa mereka diancam dihentikan bahkan telah dihentikan.

Asia Pacific Report, dalam sebuah laporannya awal pekan ini menggambarkan bagaimana para mahasiswa itu mengeluh karena merasa pemerintah Indonesia membungkam aspirasi mereka untuk merdeka dengan berbagai cara. Termasuk dengan menghentikan dukungan finansial bagi kehidupan mereka di Negara Kanguru itu dan keluarga mereka yang masih tinggal di Papua.

Laporan ini ditulis oleh Connor Woodman, yang kini sedang menyelesaikan studi di bidang filosofi, politik dan ekonomi di University of Warwick, Australia, dengan mewawancarai sejumlah mahasiswa Papua di Australia. Salah satu narasumbernya adalah Ian Okoka, mahasiswa di Deakin University di Melbourne. Ian Okoka mendapat beasiswa dari pemerintah daerah Papua.

Ian Okoka mengatakan mulai aktif dalam dalam pergerakan kemerdekaan Papua pada tahun 2010. Dan sejak itu, hidup dan studinya ia rasakan tidak tenang.

Ia mengaku terus dimata-matai oleh pemerintah RI, kerap dibuntuti oleh orang tertentu dalam perjalanannya ke mana pun di Australia. "Saya harus bertukar moda transportasi beberapa kali agar terhindar dari dia," kata dia, menceritakan seseorang yang terus membuntutinya kala menggunakan alat transportasi publik di Melbourne.

Tetapi tekanan yang paling ia rasakan ialah ketika beasiswanya dihentikan tak berapa setelah ia aktif dalam pergerakan itu. "Karena keterlibatan saya dengan kampanye Papua Merdeka, mereka menghentikan begitu saja beasiswa saya," kata Ian.

Menurut dia, pemberhentian beasiswa itu diberitahukan kepadanya melalu email. Dalam email itu, disebutkan pula bahwa tiket penerbangannya untuk pulang ke Papua sudah dipesan, tanpa penjelasan resmi mengapa beasiswanya dihentikan.

Satuharapan.com sedang berusaha memverifikasi berita ini kepada pihak-pihak terkait.

Jalur penghentian dukungan finansial melalui beasiswa tampaknya cukup berhasil membungkam para mahasiswa Papua di Melbourne. Paling tidak ini lah yang menjadi kesimpulan Connors dalam laporannya.

Connor mengatakan ia juga mewawancarai sejumlah mahasiswa Papua lainnya di Melbourne dan mereka memberikan keterangan dengan permintaan tidak disebutkan identitasnya.

Menurut ketiga mahasiswa itu, mereka kini berusaha menahan diri dalam aktivitas mereka menyuarakan kemerdekaan Papua, karena khawatir akan mendapat ganjaran tidak diharapkan dari pemerintah Indonesia. Dua di antara mahasiswa itu mendapat beasiswa dari pemerintah RI dan sangat khawatir beasiswa itu akan dihentikan bila mereka masih terlibat dalam aktivitas menyuarakan kemerdekaan Papua.

Tidak hanya itu yang mereka takutkan. Konsekuensi yang lebih berat adalah dampaknya bagi keluarga mereka yang masih berada di Papua.

“Hidup di Australia setidaknya kita memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri,” kata Ian. “Setelah wajah Anda berhasil difoto, mereka tidak mengincar Anda. Apa yang mereka lakukan adalah pergi ke Papua dan mengincar keluarga Anda; dengan metode itu mereka berhasil membungkam Anda,” kata Ian, menggambarkan bagaimana keluarga aktivis mahasiswa Papua di Australia juga menjadi target.

Ian Okoka bercerita, ayahnya yang tinggal dengan seluruh keluarga di Jayapura, menerima panggilan dari pemerintah setelah beasiswanya dihentikan.

"Ketika mereka memberhentikan beasiswa saya ... ayah saya harus membawa keluarga saya tinggal di sebuah desa terpencil untuk melarikan diri," kisah Ian.

Kisah lain dituturkan oleh Ronny Kareni. Pada 29 April tahun lalu, ia ikut mensponsori unjuk rasa di  depan State Library of Victoria, untuk menyerukan agar media internasional diizinkan memasuki Papua. Menurut dia, dua orang Indonesia memfoto kegiatan unjuk rasa sampai polisi meminta mereka pergi.

Ronny mengatakan setelah unjuk rasa, ia mendapat SMS dari orang tak dikenal Desember lalu, mengancam  istrinya yang kala itu tengah hamil. Pesan yang tertera mengatakan istrinya akan membayar atas keaktifannya.

Sejak itu, kata Ronny, ia mengurangi keaktifannya dalam pergerakan kemerdekaan Papua. Polisi Australia, kata dia, tengah menginvestigasi SMS tersebut. Namun, ketika Connors mengkonfirmasi hal ini kepada pihak kepolisian Australia, mereka menolak berkomentar.

Melbourne di Australia, adalah salah satu tempat dimana gerakan memperjuangkan kemerdekaan Papua mendapat peluang, walaupun pemerintah Australia secara resmi tidak mendukung.  Tahun lalu, sebagaimana diberitakan Kompas, sekelompok pendukung Papua  di Australia membuka kantor di daerah Dockland, Melbourne. Kelompok ini menyebut dirinya sebagai Republik Federal Papua Barat.

Mengutip ABC, Kompas melaporkan penjelasan  Ronny Kareni bahwa kantor itu bertujuan mempromosikan dialog mengenai masa depan politik wilayah tersebut. Ia menjelaskan, kantor ini akan melakukan lobi bagi kemerdekaan Papua.

"Tujuan kantor ini pada dasarnya untuk mencari dukungan PBB, juga Australia yang saat ini menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan," kata Kareni kepada ABC. "Juga untuk bernegosiasi dengan pemerintah Australia dan Indonesia untuk memasuki tahapan mediasi pihak ketiga mengenai masa depan Papua Barat," katanya lagi.

Kareni yakin momentum bagi penentuan nasib sendiri Papua Barat  sedang meningkat. "Saya berharap dengan kehadiran fisik seperti ini, bisa menunjukkan bahwa gerakan masih tetap hidup dan jika orang ingin bicara sudah ada kantor yang bisa dihubungi," katanya.

Tahun 2014 tiga mahasiswa  Papua meloncat pagar konsulat Australia di Denpasar, Bali, guna mengangkat kembali isu Papua. Ketiga mahasiswa itu, Rofinus Yanggam, Yuvensius Goo dan Markus Jerewon mendesak PM Australia ketika itu, Tony Abbott untuk menekan pemerintah Indonesian membebaskan 55 orang yang mereka sebut sebagai tahanan politik. Mereka juga meminta akses kebebasan pers yang lebih luas bagi wartawan internasional untuk melaporkan dari Papua.

Sebagai catatan, pada bulan November 2006, Australia dan Indonesia menandatangani apa yang disebut sebagai Traktat Lombok, berisi kerjasama kedua belah negara dalam soal keamanan.

Pasal 2, bagian 3 perjanjian itu menyatakan bahwa masing-masing pihak tidak akan mendukung dengan cara apa pun atau ikut dalam kegiatan oleh orang atau pun badan yang merupakan ancaman bagi stabilitas, kedaulatan, atau integritas wilayah dari pihak lain, termasuk separatisme di wilayah pihak lain.

Bagi sebagian pengamat, Traktat Lombok ini memberikan peluang bagi intelijen RI melakukan operasinya di Australia memantau setiap aktivisme menyuarakan kemerdekaan Papua. Mengungkapkan aspirasi, pada gilirannya dapat ditafsirkan oleh Indonesia sebagai separatisme. (kav)

Editor : Eben E. Siadari


Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home