Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 07:18 WIB | Sabtu, 03 Mei 2014

Mahasiswa UNTAG ‘45 Gugat rektor ke PTUN

Ilustrasi aksi unjuk rasa mahasiswa. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mewakili delapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UNTAG ’45), pada momentum Hari Pendidikan Nasional, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap Rektor yang dirasakan sewenang-wenang memberikan skorsing.

Surat Keputusan Rektor Untag ‘45 Jakarta, tanggal 3 Februari 2014, telah menetapkan sanksi akademis berupa skorsing selama enam semester atau maksimal pemecatan (drop out), bagi mahasiswa FISIP UNTAG ‘45 Jakarta, yaitu Mamat Suryadi, Zainudin Alamon, Ade Arqam Hidayat, Arnold Dedy Salam Mau, Patrisius Berek, Muhammad Sani, Alfi Wibowo, dan Muhammad Rahmansyah.

“Putusan tersebut merupakan dampak atas aksi unjuk rasa pada 19-20 Desember 2013 lalu, lantaran delapan mahasiswa tersebut melakukan aksi unjuk rasa menentang pembubaran seluruh organisasi kemahasiswaan oleh yayasan, yang kemudian didukung oleh Rektor UNTAG’45 Jakarta,” urai Nelson Nikodemus Simamora, selaku pengacara dari LBH Jakarta melalui siaran pers yang diterima satuharapan.com di Jakarta, Jumat (2/5).

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkatan universitas maupun fakultas, Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam UNTAG ’45 Jakarta (PATAGA), Resimen Mahasiswa (Menwa), dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni dan teater, habis diberangus dan sekarang tidak aktif lagi.

Selain itu, hampir seluruh hal yang berhubungan dengan mahasiswa “diuangkan”, misalnya pungutan atas ujian susulan sebesar Rp 200.000, dan apabila mahasiswa terlambat membayar uang kuliah dikenakan denda sebesar Rp 25.000. Hal ini sangat memberatkan, padahal, mahasiswa di kampus ini rata-rata berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.

“LBH Jakarta menyatakan dalam gugatan bahwa para mahasiswa tidak sepantasnya diberikan sanksi secara arogan karena melakukan unjuk rasa. Aksi unjuk rasa merupakan hal yang biasa dalam negara yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti Indonesia. Terlebih, hal ini dilakukan oleh para ‘intelektual muda’ yang selalu gelisah melihat lingkungannya,” kata Nelson.

Selain mengajukan gugatan, para mahasiswa dan LBH Jakarta akan melakukan berbagai upaya non-hukum, yakni dengan mendatangi berbagai lembaga yang tugasnya sebagai regulator dan pengawas pendidikan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Komnas HAM sudah menerima pengaduan mereka dua minggu yang lalu. Di hari pendidikan nasional ini, kita menyaksikan bahwa masih ada institusi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya Jakarta yang melakukan tindakan otoritarian dan bertentangan dengan semangat pendidikan yang digaungkan oleh Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus mencerdaskan, bukan membodohi,” Nelson menegaskan.

Atas hal-hal tersebut diatas, pihak penggugat meminta:

1. Kepada Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta agar segera mencabut sanksi akademis terhadap Sdr. Mamat Suryadi, dkk.;

2. Otoritas pendidikan di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar turun tangan menangani pemecatan, skorsing, dan pemberangusan organisasi mahasiswa ini;

3. Mahasiswa Sejabodetabek agar dapat menunjukkan solidaritas dalam kasus ini.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home